News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Berita KBR

Meena, Atlet Imigran yang Terjebak di Cisarua

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Meena Asadi bersama suami Ashraf Jawadi, pengungsi asal Afghanistan.

TRIBUNNEWS.COM - Ribuan imigran dari Afghanistan dan Iran, terdampar di sebuah perkampungan kecil di Cisarua, Bogor, sejak tiga tahun lalu.

Mereka kabur dari negaranya karena konflik yang tak berkesudahan. 

Tapi, kehidupan mereka di sana, tak lebih baik. Itu karena, pemerintah Indonesia tak memperbolehkan mereka bekerja dan sekolah. 

Sementara, UNHCR tak memberi kepastian kapan mereka akan diterima di negera ke-tiga

Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi KBR.

Di kota hujan ini, ada sebuah perkampungan yang penghuninya berwajah Persia.

Perkampungan itu, letaknya berada di dataran tinggi, Cisarua. Ketika tim KBR, mereka harus melewati gang-gang sempit, yang hanya bisa dilewati sepeda motor atau pejalan kaki.

Begitu sampai, ratusan rumah sederhana berjejer. Siang itu, orang-orang berwajah Persia tengah duduk santai di teras rumah. Tim KBR disambut oleh seorang perempuan muda, Meena Asadi, 24 tahun. 

Meena, berperawakan kecil, berhidung mancung dan berkulit putih. Langkahnya begitu gesih dan lincah, tetapi siap sangka, ia adalah seorang atlet karate. Kejuaraan nasional hingga internasional sudah pernah ia raih.

Pada tahun 2010 lalu, Meena menjadi salah satu anggota Tim Nasional Pakistan di Kejuraan South ASIAN Games di Bangladesh.

“Ya, saya professional. Saya pernah mendapatkan 38 medali emas dari kejuaraan nasional maupun internasional dari India, Bangladesh, Pakistan dan Afghanistan,” ujar Meena.

Meena Asadi lahir di Afghanistan, berasal dari etnis Hazara dan menganut Islam Syiah.

Tapi saat usianya 12 tahun, ia bersama orangtuanya terpaksa mengungsi ke Pakistan karena perang saudara yang tak berkesudahan.

Karena keluarganya berasal dari etnis Hazara dan penganut Islam Syiah, mereka kerap jadi target kekerasan kelompok Taliban dan ISIS.

Entah, sudah berapa banyak korban dari etnis Hazara yang meninggal karena ledakan bom.

Terbaru, pada 23 Juli lalu, bom bunuh diri menewaskan 61 pendemo Hazara Syiah di Ibu Kota Kabul.

Di Pakistan, Meena muda, berlatih karate di kota Quetta. Kemampuannya pun kian melesat.

Tapi, saat berada di puncak prestasi, ia memutuskan kembali ke tanah lahirnya, Afghanistan. Meena ingin mengabdi untuk negerinya.

Malang, ia dan keluarga justru terusir karena kekerasan yang terus menerus dilancarkan kelompok militan.

Hingga akhirnya, keluarga Meena nekat mengungsi, lalu terdampar di Indonesia, di penghujung tahun lalu.

“Situasi di Afghanistan dari hari ke hari semakin memburuk. Itu kenapa saya pindah ke sini. Saya terkenal di Afghanistan dan semua mengenal saya. Dan juga di Pakistan semua orang mengenal saya. Dan juga, bagaimana kamu menyebutnya di Masjid? Imam, ya Imam di masjid. Mereka memberitahu saya bahwa (karate-red) tidak baik untuk perempuan,” kata Meena.

Sama seperti Meena, suaminya Ashraf Jawadi malah harus kehilangan sanak saudaranya. Mereka mati di tangan Taliban.

“Ya saudara perempuannya,” ujar Ashraf.

“Saudara perempuan saya, kakek saya,” saut Meena.

“Ledakan bom di jalan raya, mereka terbunuh. Adik saya (juga-red) di Pakistan sebagai pengungsi, adik saya berusia 22 tahun,” kata Ashraf.

Meena mengungsi dengan tiga anggota keluarganya, yaitu suami, anak perempuannya, dan ibu mertua.

Dengan pesawat, mereka lari dari Afghanistan ke Indonesia, dengan jasa penyelundup dan membayar sekitar 5000 dollar atau Rp 65 juta per kepala. Sementara untuk bayi atau anak-anak, Rp26 juta.

“Penyelundup menjemput kita dari India, lalu Malaysia, Indonesia menggunakan pesawat. Kami punya paspor Afghanistan, penyelundup memberi kita visa illegal,” kata Ashraf.

Lalu, bagaimana nasib Meena dan keluarganya kini?

Meena Asadi sekeluarga kini dalam situasi tanpa kepastian. Statusnya; pencari suaka.

Nasib sial itu tak lepas dari kondisi di negerinya yang kerap dilanda perang dengan kelompok ISIS.

Itu mengapa, di penghujung tahun lalu, mereka memilih lari dari tanah kelahirannya.

Sementara untuk mengantongi sertifikat pengungsi, mereka harus menunggu proses wawancara dengan UNHCR (organisasi PBB yang mengurusi pengungsi).

Itu pun baru dilakukan dua tahun mendatang.

Setelahnya, UNHCR bakal menentukan negara mana yang mau menerima mereka. Tapi, itu pun tak ada kepastian kapan.

Maka, sembari menunggu, di Cisarua, Bogor, Meena mengajar karate untuk anak-anak pengungsi, sebanyak seminggu tiga kali.

Itulah, cara yang bisa dilakukan untuk mengusir bosan. Sebab, Pemerintah Indonesia melarang para pengungsi bekerja pun sekolah.

“Saya punya klub di Indonesia, sekira 7 bulan lalu. Kami punya klub dan punya banyak murid. Semuanya adalah pengungsi, tak hanya orang Afghanistan sebagian dari mereka juga dari Iraq namun kebanyakan orang Afghanistan,” ungkap Meena.

Sementara untuk hidup sehari-hari, Meena sekeluarga masih mengandalkan tabungan dan kiriman uang dari kerabatnya di Afghanistan.

Di sini, Javed Azad remaja berusia 17 tahun, sedang berlatih karate bersama Meena.

Kata pemuda yang menyandang sabuk merah ini, karate membuat tubuhnya tetap bugar. Karenanya ia senang berlatih.

“Saya datang ke klub karate karena karate sangat bagus untuk kesehatan saya dan saya suka karate. Di sini saya tidak dapat pergi ke sekolah, saya tidak bisa bekerja. Saya punya banyak waktu luang, saya hanya datang ke klub karate dan saya juga punya kelas Bahasa Inggris,” ujar Azad.

Azad, juga berasal dari Afghanistan dan tiba di Indonesia, tahun lalu. Tapi di Cisarua, ia sebatang kara. Sebab, keluarga Azad masih berada di Afghanistan.

Sementara itu, Meena masih menaruh harap mengikuti turnamen karate di Jakarta pada 22-28 Agustus.

Tapi, mimpi itu terlanjur kandas. Panitia The 12th Shotokan Karate International Federation (SKIF) World Championship 2016, tak mengizinkan pengungsi ikut bertanding.

 “Harapan saya adalah kami bisa berpartisipasi dalam sebuah kompetisi di Indonesia. Namun, masalah kami adalah kami sekarang pengungsi di Indonesia. Itu masalahnya, karena kita tidak memiliki paspor,” pungkas Meena.

Sementara suaminya, Ashraf Jawadi mengatakan, mereka hanya diperbolehkan menonton pertandingan dengan membayar 10 dollar atau sekira Rp130 ribu.

Namun ketika KBR ingin mengonfirmasi hal itu, email maupun telepon tak direspon pihak panitia.

Sementara, Sekretaris Jenderal Federasi Karate Asia Tenggara (SEAKF), Agus Santoso menuturkan, untuk mengikuti kejuaraan karate tak bisa secara perseorangan.

 Seorang atlet karate harus mengikuti seleksi terlebih dahulu melalui perguruan dan/atau federasi karate di negaranya. Ini untuk memastikan proses seleksi tetap berjalan secara adil.

“Kalau dia atlet pengungsi memang permasalahannya satu dia tidak punya paspor. Kedua, dia atlet mewakili siapa? Kalau untuk membela negara atas nama Afghanistan itu kan nggak gampang harus ikut seleksi-seleksi nasional dulu. Dipilih di tingkat nasional, atlet nasional namanya. Kalau untuk open turnamen, untuk individual tetap nggak bisa ikut, tetap harus ikut organisasi klub,” pungkas Agus.

Klub itu pun harus terdaftar dalam federasi karate yang berada di negaranya.

Agus menambahkan, seorang atlet yang pindah perguruan bisa dikenai sanksi dua tahun tak bisa mengikuti turnamen. Ini untuk menunjukkan loyalitas atlet karate terhadap perguruannya.

Meena dan ribuan pengungsi di Cisarua, Bogor, sebetulnya adalah korban di negaranya.

Tapi kini, ia diperlakukan seperti tahanan –terpenjara di kampung kecil. Meski begitu, ia tak mau berhenti bermimpi menjadi juara dunia karate.

“Ketika saya meninggalkan Indonesia ke negara lain, saya harus terus berlatih dan berlatih. Saya akan menunjukkan ke seluruh dunia bahwa saya bisa. Dan seorang perempuan Afghanistan dapat bermain, seorang perempuan Afghanistan dapat menjadi juara. Itu adalah mimpi saya, saya harus cepat menggapainya dan bekerja keras,” ujar Meena.

Penulis : Randyka Wijaya/ Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini