TRIBUNNEWS.COM - 10 Desember diperingati sebagai Hari HAM Internasional dan Komnas Perempuan hendak memorialisasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Di Yogyakarta, Gedung Jefferson dan Benteng Vrederburg menjadi saksi sejarah penyiksaan tahanan politik tragedi 1965. Seperti apa memorialisasi di sana?
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi KBR.
Di sebuah rumah tua dengan halaman yang cukup besar di Kota Yogyakarta, belasan lansia ditemani sekelompok anak muda, berkumpul.
Para lansia tersebut adalah bekas tahanan politik peristiwa 1965. Sementara gerombolan anak muda itu, pendamping.
Di sela-sela pertemuan, para bekas tahanan politik itu kemudian menceritakan tentang penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan yang dialami.
Seperti yang diungkapkan Sutikno. Sesekali ia menitikkan air mata. Kala itu, usianya 20 tahun dan menempuh pendidikan di Universitas Republika.
Ia ditangkap karena berdemo dan dituduh mendukung Dewan Jenderal (badan yang dianggap ingin merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno).
“Saya ditangkap dan diperiksa di Gedung Jefferson tanggal 21 April 1966. Saya lahir tahun 40. Jadi usia saya saat itu, sekitar 25 tahun. Tempat pemeriksaan itu banyak dilakukan di Gedung Jefferson,” ungkap Sutikno.
“Di situ sebenarnya juga dijadikan kamp tahanan, bukan hanya lokasi pemeriksaan atau interogasi. Ada beberapa tim interogasi, ada camat, ada juga dari militer. Kalau pemeriksaan malam itu biasanya dari militer. Kalau diperiksa malam, banyak sekali kawan-kawan yang menderita. Digebuki, kemudian sepuluh jari diletakkan di meja dan dijepit sampai luka. Tangan dipukuli,” jelas Sutikno.
“Kebetulan saja, saya tidak sampai digotong pas pulang dari diperiksa. Teman saya lainnya itu, kalau sudah dari Jefferson, pasti pulangya digotong. Masuk ke LP Wirogunan, teman satu sel pasti saling membantu mengobati teman yang habis diperiksa dan disiksa tadi,” kata Sutikno.
“Saya diinterogasi, dituduh ikut demonstrasi, mendukung Dewan Jenderal, memberi dana, dan sebagainya. Padahal tuduhan itu tidak benar. Lha saya saat itu masih mahasiswa tidak punya uang buat makan, buat bayar sekolah aja susah, apalagi dituduh menyumbang,” ungkap Sutikno.
“Sebelum diinterogasi, paling banyak tahanan meninggal dipenjara di Beteng Vredeburg karena di sana, terbatas sekali jatah makan dari pemerintah, dan tidak bisa mencari makanan lain kecuali ada kiriman dari luar penjara,” tambahnya lagi.
Kisah lain diutarakan Bedjo Sutrisno. Kala 1966, ia masih duduk di bangku SMP tapi dituduh berencana membunuh Presiden Sukarno.
Bedjo lantas disiksa dan menjadi saksi mata pembunuhan sejumlah tahanan politik lainnya. Sembari bercerita, pria sepuh ini tak berhenti meremas gelas plastik yang sudah habis ia minum.
“Saya diambil, ditangkap, dituduh berencana membunuh Presiden. Yang menuduh saat itu RT saya sendiri. PKI diberi senjata untuk membunuh Presiden Sukarno dan akan mendirikan Negara Komunis. Tiga hari kemudian saya dipanggil dan disuruh apel ke kecamatan setelah itu tidak boleh pulang. Saya dipenjara di LP Wirogunan sekitar setengah bulan,” terang Bedjo.
“Saya diperiksa di Gedung Jefferson, di tingkat atau lantai 1 itu, pas saya masuk, ada orang sedang diinterogasi. Ditingkat dua juga, kemudian di tingkat 3 untuk yang berat, disiksa. Saya dipukuli sampai pingsan. Setelah saya pingsan, disuruh cap 10 jari tangan. Ada bekas tinta di seluruh jari saya. Kemudian saya dibawa ke LP Wirogunan masih dalam kondisi tidak sadar,” ungkap Bedjo.
“Saya dan orang-orang yang ditahan itu diberi makan gatot, itu dari ketela. Ternyata sudah dicampur DDT, obat tikus. Banyak orang-orang yang mati keracunan. Untung saya bisa muntah, bisa keluar. Saya kemudian di bawa ke kamp Kutoarjo, selama dua minggu. Setelah itu saya diangkut pakai truk menuju Nusakambangan, sekitar 5 hari. Kemudian saya dibawa ke Pulau Buru, 10 tahun saya dibuang di situ,” tambahnya lagi.
Begitu pula dengan Sri Murhayati. Ia ditangkap karena ayahnya dituding berencana membunuh sejumlah pejabat negara.
Sri yang tengah berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) mengaku ditangkap kemudian diinterogasi di Gedung Jefferson. Setelahnya perempuan sepuh ini dijebloskan di penjara bawah tanah Benteng Vredeburg.
“Di fakultas dan universitas saat itu, saya termasuk pengurus tim VOLIGAMA Universitas Gadjah Mada. Saya tidak pernah ikut dalam organisasi politik. Namun saya ikut CGMI, organisasi kemahasiswaan, karena ini satu-satunya organisasi mahasiswa yang sangat menentang aksi perploncoan tidak manusiawi di UGM,” ujar Sri.
“Saat pertama ditahan, saya diperiksa dua kali di Gedung Jefferson, saya masuk tanggal 19, dua hari sebelumnya, atau tanggal 17 November itu ayah saya dicari militer, rumah saya dikepung tentara, ada satu truk, satu panser, satu mobil tentara, kepung rumah saya, bapak saya ditangkap. Bapak saya sekretaris angkatan 45 veteran. Jadi awalnya yang dicari bapak saya, bukan saya atau ibu saya, tetapi akhirnya dicari-cari saya ditanya ikut apa, saya jawab CGMI, saya ikut ditangkap dan ibu saya juga,” ujar Sri.
“Pas datang, saya disodori foto-foto pejabat Jogja ditaruh di meja. Kemudian dia bilang ini lho pejabat yang akan dibunuh bapakmu. Ya saya ketawa saja, bagaimana mungkin. Saya kemudian dibawa naik truk dan di Jefferson disuruh apel. Banyak sekali tahanan perempuan. Saya nangis keras sekali, ibuku mana, ibuku mana,” terang Sri.
“Awal Desember kemudian saya dipindah ke Benteng Vredeburg, itu pertama kali dipakai untuk tahanan. Ada dari rombongan saya, dan beberapa daerah lain di Jogja. Waktu dipindah ke Benteng, kalau pagi itu makannya jagung rebus. Per orang hanya 20 butir jagung, paling banyak itu 22 butir kalau bejo (untung-red). Kan berbagi dengan tahanan lain,” tambahnya lagi.
Gedung Jefferson yang disebut Sutikno, Bedjo Sutrisno, dan Sri Murhayati, itu lokasinya tak jauh dari tugu Golong Gilig yang menjadi ikon Yogyakarta
Gedung Jefferson yang terletak di seberang Pasar Kranggan Jalan Diponegoro, tampak tua dan kusam. Kaca jendelanya dipenuhi debu. Bangunan tiga lantai ini, kini dipakai untuk kantor salah satu biro iklan.
Dari dalam gedung, ruangnya bersekat-sekat. Beberapa kursi dan meja tampak tak beraturan. Sementara di depan gedung dipakai untuk berjualan warga. Mereka juga tak tahu sejarah gedung berdesain kotak-kotak tersebut.
Sri Murhayati kemudian menunjukkan ruang interogasi, penyiksaan, dan penahanan.
“Di sinilah lokasi penyiksaan, di ruangan itu. Orang ditelanjangi, diperkosa, diinterogasi. Kalau di lantai 2 lokasi orang disiksa. Dulu kalau kita mau antri diperiksa itu duduk di sini, di dekat lorong ini. Di depan, halaman gedung untuk apel, nanti dipanggil satu-satu. Penyiksaan di lantai atas, kalau dibawah ini dipukuli pakai kaki kursi, ditelanjangi,” terang Sri.
“Ada petugas mau pegang saya, langsung saya tampar, saya dipukuli. Saya heran, banyak perempuan dibawa ke sini, dipegang gitu kok nggak ada yang melawan. Pistol itu sudah ditaruh di depan mata saya. Saya tidak takut. petugas itu kemudian pergi,” tambahnya lagi.
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin bercerita, menelusuri fakta terkait peristiwa 1965 di Yogyakarta, berpusat di Gedung Jefferson. Sehingga, kata dia, perlu adanya pengungkapan kebenaran di lokasi ini.
“Di Jogjakarta lebih banyak penelusuran fakta tragedi 1965 dan sesudahnya. Kita coba mencari fakta, mengungkap bagaimana Gedung Jefferson itu telah terjadi penyiksaan, dalam catatan sejarah dan laporan KOMNAS HAM juga sudah jelas ada penyiksaan, penganiayaan, dan pembunuhan massal di lokasi itu,” ungkap Mariana.
“Jadi kami ingin melihat gedung itu sebagai sebuah sejarah, sejarah diakui, diluruskan, kebenaran sejarah bangsa ini lebih terbuka dan jelas, supaya tidak berulang, ketika kebenaran itu dibuka, tidak mungkin terulang, semua orang sudah tahu kalau pernah ada kejadian yang tidak bagus masyarakat Indonesia, termasuk di Jogja ini,” tambahnya lagi.
Perjalanan kami bergeser ke Benteng Vredeburg yang persis berada di depan Gedung Agung, Kraton Kesultanan Yogyakarta.
Lantaran berada di kawasan perdagangan Malioboro dan Pasar Beringharjo, benteng ini ramai dikunjungi wisatawan. Kami pun masuk dengan membayar tiket seharga Rp2000.
Sri Murhayati bersama tim dari Komnas Perempuan, lalu memasuki ruang diorama 1 dan 2 yang berisi sejarah kemerdekaan Indonesia, termasuk perjuangan di Yogyakarta.
Namun, tak ada secuil pun kisah tentang tragedi 1965/1966, dimana benteng ini pernah menjadi kamp penjara tahanan politik.
Kami terus berjalan ke bagian belakang benteng. Sri menunjukkan pada saya sebuah pintu masuk ke ruang tahanan bawah tanah, saat dirinya dipenjara.
Perempuan sepuh ini juga memberitahu saya tiga lubang kecil. Dan rupanya betul, di situ terdapat ruang gelap. Kata Sri, ketiga celah itu digunakan untuk menyelundupkan makanan.
“Ya dilubang ini kadang ada kiriman makanan, memang kalau pakai tangan tidak cukup. Sempit. Tapi ya pakai cara biar makanan bisa masuk ke ruang gelap ini. Kelihatan kan ruangannya dari lubang ini. Saya mendekam di ruang itu,” terang Sri.
Perjalanan ini adalah bagian dari rangkaian memorialisasi atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Dengan begitu, pemerintah dan publik takkan lupa serta memberi penghormatan pada para korban.
Sebuah keniscayaan pula, memorialisasi ini bisa mendorong pemenuhan hak korban dan keluarganya, memutus impunitas, dan memastikan peristiwa serupa tak terulang di masa mendatang.
Pendamping para bekas tahanan politik dari Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia (Fopperham), Noor Romadhon mengatakan, peristiwa 1965 harus diungkap sebagai sebuah pengungkapan kebenaran.
“Ya kami berharap banyak pada memorialisasi ini. Khususnya, di Benteng Vredeburg. Sekarang kan menjadi ruang publik, dikunjungi banyak orang. Harapan kami pemerintah bisa mengakomodir bahwa sejarah tahun 1965 dan berikutnya lokasi ini menjadi kamp penyiksaan dan penjara tahanan politik,” ungkap Noor.
“Nanti kalau berkunjung ke lokasi Benteng tidak ada keterangan sejarah lokasi ini tentang tragedi 1965. Padahal bapak-bapak dan ibu-ibu mantan tahanan politik ini pernah disiksa, dipenjara bawah tanah di lokasi Benteng. Ini fakta sejarah. Jangan dihilangkan. Pemerintah harus merespon fakta dan para saksi sejarah ini bahwa di lokasi Benteng dan Gedung Jefferson pernah terjadi pelanggaran HAM berat,” tambahnya lagi.
Gedung Jefferson dan Bgenteng Vredeburg menjadi saksi bisu yang dialami para bekas tahanan politik tragedi 1965/1966 di Yogyakarta. Tapi nasib mereka tergambar dalam nyanyian yang dilantunkan berikut.
“Menjaga cucu, dalam perih Gestapu. Tiap hari, lari ke sana kemari. Luputkan diri dari bahaya. Siang malam cucu memanggil manggil Bapakku, Ibuku dimana. Dengan sedih, Nenek menjawabnya, Bapak Ibumu di penjara.”
Penulis: Yudha Satriawan/ Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)