TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ichsanuddin Noorsy menjalani pemeriksaan polisi selama 15 jam sebagai saksi untuk sejumlah tersangka kasus makar.
Selasa (10/1/2017) dini hari, Ihsanuddin merampungkan 22 pertanyaan penyidik dalam 28 lembar berita acara pemeriksaan (BAP).
"Saya ditanya tentang peristiwa 17 November lalu ditanya 20 November di UBK dan kehadiran saya di 212 di Monas," kata Ichsanuddin Noorsy, Selasa.
Menurutnya, penyidik sempat mempertanyakan keberadaan dirinya pada 17 November. Saat itu, Ichsanuddin mengaku hanya menjadi pembicara pada acara bedah buku bertajuk "Revolusi Belum Selesai" di Rumah Amanat Rakyat.
Ia mengatakan kehadirannya di Rumah Amanat Rakyat murni diundang untuk debat akademis dan bukan politik praktis.
Ia memastikan, dirinya lebih banyak berbicara soal politik uang dan rush money. Kendati demikian, ia tak banyak tahu soal kegiatan di rumah yang beralamat di Jalan Cut Nyak Dien Nomor 5 itu.
Ia justru memantau Rumah Amanat Rakyat dari grup Whatsapp.
Sedangkan pada 20 November di Universitas Bung Karno, ia kembali ambil peran sebagai pembicara. Kali ini tentang penegakan hukum dalam konstruksi penistaan agama.
Namun Ichsanuddin mengaku tak mendengar soal rencana ke MPR/DPR dan meminta Sidang Istimewa. Ia mengaku datang telat dan pulang duluan pada pertemuan 20 November 2016 di Universitas Bung Karno.
"Saya dicoba konfirmasi atas notulen yang beredar. Saya bilang saya datang telat dan pulang duluan pada 20 November," ujarnya.
Sedangkan pada 2 Desember, Ichsanuddin mengaku berada di Monas melaksanakan ibadah bersama-sama ribuan massa, lalu pulang setelahnya.
"Yang paling menarik dari cerita pemeriksaan saya adalah ketika saya ditanya tentang amandemen UUD 1945," kata Ichsanuddin.
Kepada penyidik Ichsanuddin menyampaikan pandangannya tentang UUD 1945 pasca amandemen, dan keinginan para tersangka makar untuk mencabut amandemen itu.
Ichsanuddin menyebut adanya dilema sebab tak pernah ada kajian akademis saat menetapkan amandemen, maupun kajian akademis tentang pencabutan amandemen itu.