News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Efek Turunan Dinasti Politik di Banten Berbahaya Bagi Demokratisasi

Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terpidana kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pilkada Lebak, Banten, Ratu Atut Chosiyah keluar dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta Selatan, Senin (14/12/2015). Mantan Gubernur Banten tersebut kembali harus menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus lainnya yaitu dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten tahun anggaran 2011-2013. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak hanya menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia bakal mempraperadilankan Kejaksaan Agung.

Gugatan MAKI ke KPK didasari kinerja mereka yang lamban menangani kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan yang menjerat mantan gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.

Dalam kasus ini Atut sudah menyandang sebagai tersangka selama tiga tahun, namun berkas perkaranya tidak kunjung dilimpahkan ke tahap penuntutan.

Atut diduga menerima hadiah dan memeras dalam proyek pengadaan alat kesehatan di Banten yang dianggap penyidik KPK tidak sesusai prosedur.

Sementara gugatan MAKI ke Kejaksaan Agung muncul karena diduga mencoba menghentikan penanganan perkara kasus bantuan sosial Pemerintah Provinsi Banten yang menyeret Atut.

Sekadar informasi, kasus bansos Pemprov Banten yang merugikan negara sekira Rp 3 miliar itu mulanya ditangani KPK tapi kemudian dialihkan ke Kejaksaan Agung.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya belum lama ini sangat menyayangkan tak ada progres penanganan perkara ini semenjak ditangani Kejaksaan Agung.

"Sehingga MAKI mendesak agar KPK mengambil alih berkas perkara bansos Ratu Atut dari Kejaksaan Agung untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor," pinta Boyamin.

Menurut Boyamin, putusan kasasi Mahkamah Agung menjelaskan dana bansos yang dibobol terpidana Zainal Mutaqin, pejabat Pemprov Banten, mengalir ke Atut tapi tak ditetapkan sebagai tersangka. 

Ia memastikan penyebutan nama Atut dalam persidangan harusnya membuat penyidik Kejaksaan Agung tak ragu menetapkannya sebagai tersangka.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai penyerapan super cepat anggaran bansos seperti terjadi di Banten era Atut berkaitan erat dengan dinasti politik.

"Dinasti politik itu tidak boleh dilakukan, karena sudah dipastikan terjadi kolusi, korupsi, nepotisme," ujar Agus menanggapi kasus bansos di Banten, Kamis (12/1/2017).

Dinasti politik sangat berbahaya karena efek negatifnya turun temurun. Tongkat estafet kepemimpinan hanya berputar di antara anggota keluarga sehingga demokratitasi mandul.

"Kalau mau begitu, bikin saja negara kerajaan. Makanya harus ada jeda, ada batasan. Masak setelah ibu kemudian anaknya, itu melanggar demokrasi, dong," Agus menyindir.

Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan begitu cepat realisasi penyerapan anggaran, program hibah dan bantuan sosial selama Atut memimpin Banten.

Hanya hitungan bulan dari total anggaran Rp 340,4 miliar, sebanyak Rp 207 miliar atau 60,8 persen sudah dapat direalisasikan. Sedangkan dana bantuan sosial dari total anggaran Rp 51 miliar, sebesar Rp. 49,8 miliar atau 97,7 persen sudah disalurkan.

"Sangat cepat dibandingkan program-program pemerintah yang umumnya sangat buruk dalam proses serapan," ujar Koordiantor ICW Ade Irawan.

Paling mencurigakan dari semua realisasi itu adalah sebagian besar lembaga penerima dana tidak ada. Hanya 30 lembaga penerima dana yang memiliki nama dan alamat yang jelas, sedangkan sisanya tidak.

ICW menemukan bukti dana hibah Pemprov Banten selama Atut memimpin mengalir ke lembaga-lembaga fiktif dan orang-orang terdekatnya.

Data ICW menunjukkan dana hibah di antaranya Rp 1,85 miliar mengalir ke DPD KNPI Banten yang dipimpin Aden Abdul Khalik, adik tiri-ipar Atut.

Dana Rp 1,75 miliar mengalir ke Tagana Banten pimpinan Andhika Hazrumy, anak Atut. Sementara P2TP2A pimpinan Ade Rossi, menantu Atut sekaligus istri Andhika, mendapat Rp 1,5 miliar.

Himpaudi (Himpunan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia) Banten yang juga dipimpin Ade Rossi mendapat Rp 3 miliar.

KONI Banten yang diketuai Ady Surya Darma dari Golkar, partai pendukung Atut, mendapat Rp 15 miliar.

Ade memastikan korupsi yang dilakukan pejabat publik dalam ikatan politik dinasti tak hanya merugikan negara tapai juga merugikan masyarakat, seperti Atut terhadap warga Banten.

"Kenapa keluarga Atut maju terus di Pilkada Banten? Karena akses terhadap sumber daya akan lebih mudah ketika berkuasa. Apalagi keluarga Atut kan keluarga pengusaha,” ujar dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini