TRIBUNNEWS.COM - Putus harapan dan menutup diri, biasanya menghinggapi pasien yang divonis kanker. Seperti yang dialami seniman Laksmi Notokusumo. Tapi saat di meja operasi itulah, titik balik hidupnya dimulai.
Laksmi mencoba menumbuhkan semanggat mereka lewat berkesenian; teater dan berpuisi. Dan kini, lewat komunitas Lovepink, ia mengabdikan seni untuk menyembuhkan.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Di rumahnya, Laksmi Notokusumo berkumpul bersama puluhan perempuan. Siang itu, rupanya perempuan berusia 68 tahun ini sedang menyusun rencana sosialisasi kanker payudara ke sebuah puskesmas.
Dan pesan itu, akan disampaikan lewat seni; berpuisi bersama komunitas Lovepink.
Laksmi, begitu ia disapa, adalah seorang penari, koreografer, dan sutradara teater. Ia meyakini, dengan seni paling tidak bisa menumbuhkan semangat penderita kanker.
"Rasa percaya diri itu bagaimana sih, kalau ditumbuhkan kembali? Dari yang sebelumnya nggak, sekarang ditumbuhkan, kita gairahkan kembali. Itu biasanya kemudian, akan karena rasa percaya diri ada, semangat ada, gairah hidup ada, muncul aplikasi baru, aplikasi-aplikasi kehidupan yang ingin kemudian tiba-tiba dipelajari," ujar Laksmi.
Laksmi, yang juga penyintas kanker payudara, mulanya juga sempat jatuh saat tahu dirinya menderita kanker pada 1978.
Ketika itu, ia menemukan tiga benjolan di kedua payudaranya. Dan sang dokter menyarankan agar diangkat.
Tapi, selang 12 tahun, benjolan di tubuhnya kembali muncul. Kali ini, letaknya persis berdekatan dengan kelenjar tiroid. Beruntung, sebab benjolan itu tergolong tumor jinak.
Akan tetapi, kanker payudara betul-betul menghampirinya pada 2007. Di situlah, hidupnya seakan roboh.
"Waktu itu saya kaget, saya pergi sendiri, nyetir sendiri. Begitu dokter bilang saya cancer, saya menangis. Tetapi bagi saya, tiba-tiba penyakit itu sudah ada, karena kesembronoan. Kalau dua tahun saya check up, pasti ketahuan. Tetapi setelah itu, tidak, yang penting berusaha keras supaya sembuh. Saya bilang ke anak saya, saya lakukan operasi, dokter bilang masektomi, oke," kata Laksmi.
Ketakutan tak bisa lagi berkesenian, terus menghantuinya. Sebab, pita suaranya terancam diambil. Padahal tatkala menjalani kemoterapi, ia tetap aktif berkesenian di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
"Ketika saya kena, saya penari, dan saya masih menari. Saya malah lebih shock ketika leher saya harus diangkat semua, karena gejala kanker, baru gejala. Angkat semua ya, risikonya kamu nggak bisa nembang lagi. Itu, saya agak kaget. Karena apa? Saya tidak bisa nembang, nembang engga bisa seperti dulu. Menari masih, tapi dulu nembang dan menari, tapi tiba-tiba saya tidak bisa menyanyi lagi," kata Laksmi.
Operasi, tak lagi bisa terelakkan.
Tapi, itulah titik balik Laksmi. Detik itu juga ia memutuskan membagi kisahnya dengan para penderita maupun penyintas kanker payudara.
Dia ingin perempuan-perempuan lain tak kalah melawan penyakit itu.
"Setelah saya operasi, saya ingat, teringat sepertinya sudah waktunya saya sekarang switch, untuk memulihkan kembali mental dan fisik dari servivor, atau eks pasien yang baru sembuh dari AIDS atau kanker, karena itu hampir sama," kata Laksmi.
Dan seni, adalah cara yang dipilihnya.
"Nah, harus dikembalikan lagi, harus dibangkitkan lagi semangatnya. Melalui apa? Di Eropa dan Amerika dipercaya, seni bisa dipakai sebagai alat untuk bantu pemulihan lagi," kata Laksmi.
Aksi Laksmi dan Penyintas Kanker Teater?
Sejak menjadi penyintas kanker, setidaknya ada lima naskah teater yang dihasilkan, di antaranya, Sumi Sang WTS (Wanita Tetek Satu), Pain, Birth and Hope, serta Dudung dan Kambing-Kambingnya.
Sesama penyintas kanker di komunitas Lovepink, Ade Siska Saskia, bercerita bagaimana seni membantunya lebih tenang menghadapi ritual pengobatan yang melelahkan.
"Itu sangat-sangat berpengaruh. Makanya, sebenarnya kami ini kalau sudah pengobatan, terutama kemo, atau radiasi, itu kan panjang sekali. Itu dosisnya tinggi, dan membuat kami stres, sampai otot-otot tegang. Nah kami lupa bahwa kami harus rileks, kadang-kadang lupa bernapas. Selesai pengobatan, kami memerlukan rileks kembali,” ungkap Ade.
Begitu pula dengan Rusyda Yunia Marini, penyintas kanker. Ia pernah mengikuti perlombaan teater di kampus London School of Public Relations, hingga menjadi finalis.
Baginya, itu adalah pengalaman yang berharga. Kini, dia melanjutkan pendidikannya ke jurusan seni musik IKJ, karena ingin mendalami seni.
"Karena kan misinya mimi untuk mengembalikan kepercayaan diri survivor, yang dari terpuruk, terdiagnosa kanker, sampai dia harus menjalani operasi. Artinya kan kalau dia mastektomi, ada kecacatan dalam tubuh. Kalau dia enggak terima, pasti dia akan down, jadi minder. (Dampak untuk Anda sendiri?) Dampaknya benar. lebih cerewet, lebih pede, sampai cenderung malu-maluin," kata Rusyda
Mengajari seni para penyintas kanker tak segampang ketika berhadapan dengan mahasiswa. Dia mendefinisikan para penyintas kanker itu sedang terdampar.
"Kalau ibu-ibu ini, rasanya seperti terdampar, kalau istilah saya itu. Setelah melalui perjalanan yang jauh, tenggelam, kalau dioperasi itu seperti tenggelam, dan kemudian, oleh dokter bisa diangkat kembali, sampai tidak tenggelam, bisa balik lagi di atas, itu bisa sesuatu yang baru, yang lain," kata Laksmi.
Dan saat mengajari teater, perlakuan pun harus spesial dan bersabar. Ini karena para penyintas kanker memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibanding orang kebanyakan.
"Kita tidak bisa mengatakan, ya seperti tadi kamu kan menunggu lama banget kan, karena saya harus mengikuti. Sementara, dengan mudah bagi saya, dengan murid atau dengan teman-teman kursus, atau kelompok yang memang mau berteater, stop, atau jam sekian kita mulai, stop bisa keras. Tetapi dengan mereka tidak bisa, karena kepekaan batin itu, sensitivitas," ujar Laksmi.
Untuk Laksmi, mengabdikan seni untuk menyembuhkan, adalah jalan hidupnya, kini.
"Saya ngomong, mau ikut ayo, kalau enggak, nothing to loose buat saya. Karena ini juga engga dibayar, jangan dipikir saya dibayar. Tapi indah, buat saya. Karena, sejak saya belajar dari cara panjang saya terhadap seni berbeda. Seni tidak harus di menara gading, di mana hanya orang tertentu yang bisa melihat dan mengerti. Seni yang bagus atau good art adalah yang mampu memberikan makna bagi sebanyak-banyaknya masyarakat," kata Laksmi.
Penulis: Dian Kurniati/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)