Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu, Lukman Edy mengakui isu Presidential Treshold atau ambang batas presiden paling menarik perhatian publik.
Lukman mengatakan terdapat dua isu tentang ambang batas dalam RUU ini. Pertama adalah ambang batas partai politik yang boleh menjadi anggota DPR RI, dan yang kedua adalah ambang batas partai politik boleh mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.
"Yang pertama dalam draf RUU pemerintah, parliamentary treshold diusulkan 3,5 % sama seperti pemilu ditahun 2014. Sedang untuk presidential treshold juga diusulkan oleh pemerintah tidak ada perubahan yaitu 20% dari jumlah kursi di DPR dan atau 25% dari jumlah perolehan suara di pemilu," kata Lukman melalui pesan singkat, Selasa (17/1/2017).
Untuk parliamentary treshold, kata Lukman, terdapat keinginan fraksi-fraksi di DPR untuk ditingkatkan menjadi 5%- 10%. Alasannya untuk konsolidasi demokrasi dengan pendekatan penyederhanaan partai. Namun ada juga yang mengusulkan untuk diturunkan menjadi 0% atau tanpa treshold, dengan alasan agar tidak ada suara rakyat yang terbuang percuma tanpa menghasilkan kursi di DPR.
Sedangkan untuk presidential treshold, Lukman mengakui aspirasi dari fraksi-fraksi beragam. Politikus PKB itu menuturkan ada yang setuju dengan usulan pemerintah di angka 20%-25%, dengan alasan agar hubungan presiden dengan DPR tetap terjalin harmonis sebagai syarat efektifnya jalannya pemerintahan.
Tetapi banyak juga fraksi- yang mengusulkan diturunkan menjadi 0% atau tanpa treshold, dengan alasan konstitusional pascakeputusan MK soal keserentakan pileg dan pilpres dalam waktu yang bersamaan. Kemudian alasan membuka ruang publik yang luas untuk munculnya banyak calon presiden sehingga rakyat leluasa memilih siapa yang layak menjadi presiden.
"Kalau misalnya RUU Penyelenggara Pemilu ini diputuskan menggunakan presidential treshold 0% atau tanpa treshold, maka Pemilu 2019 ini akan dinamis dan menjadi lebih menarik, karena akan banyak kontestasi calon presidennya," kata Lukman.
"Yang pada akhirnya skenario pilpres tahun 2019 nanti akan sangat berbeda dibanding tahun 2014 yang lalu. Apapun yang akan dipilih nanti, mudah-mudahan bahagian dari konsolidasi demokrasi kita menuju demokrasi yang ideal," tambahnya.
Selain itu, Lukman juga mengungkapkan adanya isu lainnya. Contohnya, wacana penggunaan e voting. Lukman menuturkan pansus telah mendapatkan presentasi oleh BPPT, ITB dan PT.INTI. Lukman menuturkan pengalaman mereka melaksanakan e voting untuk 500 lebih pemilihan kepala desa diseluruh Indonesia.
"Ini jadi menarik bagi pansus karena e voting menjamin minimalisasi kecurangan pemilu seperti pemilu2 sebelumnya, mempersingkat konstrain waktu pada setiap tahapan pemilihan, penghitungan dan rekapitulasi, dan berpotensi di masa yang akan datang akan memperkecil biaya pemilu," kata Lukman.
Kemudian, kata Lukman, wacana kenaikan jumlah anggota DPR maupun DPRD sebagai konsekuensi dari meningkatnya jumlah penduduk dan bertambahnya daerah daerah otonom baru. "Wacana ini diusulkan oleh NGO pemerhati Pemilu, dalam rangka menuju jumlah anggota Parlemen yang ideal berdasarkan praktik yang selama ini dilakukan di negara-negara lain," imbuhnya.
Sedangkan soal sistim pemilu proporsional terbuka atau tertutup, Lukman menuturkan hampir mengkerucut permintaan fraksi-fraksi untuk mempertahankan sistim proporsional terbuka seperti pada pemilu sebelumnya. "Usulan pemerintah agar diubah menjadi sistim proporsional tertutup, sepertinya mendapat penolakan luas di masyarakat sehingga fraksi fraksi di Pansus didalam DIM-nya (Daftar Inventarisasi Masalah) umumnya menolaknya," ungkapnya.