"Kalau saya dengar dari Bu Umi itu, pramugarinya bertanya menggunakan bahasa melayu, tasnya kok berat bu, isinya apa? Bu Umi menjawab kalau dari Arab ya jelas membawa oleh - oleh, masa bawa bom," imbuhnya.
Dari guyonan itulah, kata Mustain, akhirnya, pramugari melapor ke kokpit dan pilot langsung menghubungi petugas keamanan dan otoritas bandara yang intinya menginformasikan ada ancaman bom di dalam maskapai Royal Brunei Airlines.
"Petugas datang dan membawa bu Umi dan Tri ke ruang khusus beserta tas Bu Tri," katanya.
Setelah itu, pihak maskapai menyatakan ada delay keberangkatan menuju Indonesia dengan alasan akan ada pemeriksaan ulang.
Pemeriksaan itu berlangsung lama, kurang lebih 15 jam. Bahkan, ia menyebut, dirinya bersama jemaah lainnya diinapkan di hotel bandara untuk istirahat.
"Saya sempat menginap di hotel menunggu pemeriksaan ulang pesawat dan pemeriksaan terhadap bu Tri , bu Umi dan isi di dalam tas bu Tri," paparnya.
Awalnya, jadwal keberangkatan ke Indonesia itu pada 11 Januari 2017 pukul 18.30. Namun, karena ada insiden itu, pesawat baru dinyatakan aman dan diterbangkan ke Indonesia pada 12 Januari sekitar pukul 09.00 waktu setempat.
"Tapi waktu mau pulang itu, kami justru tidak tahu kalau petugas keamanan akan menahan dua jemaahnya. Saya baru tahu kalau mereka ditahan, 20 menit sebelum pesawat take off," jlentrehnya.
Ia mengaku sempat kaget, mengingat dari awal tidak ada pemberitahuan dari pihak bandara dan petugas keamanan Jeddah untuk menahan dua jemaahnya.
Ia pun juga tidak curiga. Sebab, anak pertama Umi Widayani, Lyan Widia juga sempat memberikan kabar bahwa pemeriksaan sudah selesai.
"Sudah selesai kata anak bu Umi itu. Makanya saya juga kaget kalau ternyata tidak diperbolehkan terbang," paparnya.
Mustain menambahkan, pada intinya, tas yang dibawa bu Tri itu memang bukan berisi bom atau bahan peledak.
Di dalamnya, murni berisi kurma dan air zam - zam.
Namun, kepolisian Jeddah mungkin memiliki pemahaman lain.