TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meskipun dua hakimnya telah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namunĀ Mahkamah Konstitusi (MK) mengaku tidak bisa berbuat apa-apa saat rekrutmen atau seleksi hakim konstitusi.
Sembilan hakim konstitusi berasal dari tiga unsur yakni tiga orang dari Pemerintah, tiga orang dari Mahkamah Agung dan tiga orang pilihan DPR RI.
Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat mengatakan pihaknya tinggal menerima calon yang diberikan ketiga institusi tersebut.
"Terserah lembaga masing-masing. Kita tidak bisa mencampuri itu, itu urusan internal lembaga pengusul," kata Arief Hidayat di kantornya, Jakarta, Kamis (26/1/2017).
Baca: Ketua MK: Kasus yang Ditangani Patrialis Akbar Sudah Putus dan Tinggal Dibacakan
Menurut Arief satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan melalui cara informasi.
Misalnya saja apabila calon hakim dari Presiden, maka secara informasi bisa disampaikan kepada Presiden agar berhati-hati memilih hakim konstitusi.
"Kalau paling-paling ya kalau ngomong "Ya Pak Presiden hati-hati ya'. Tapi itukan informal. Kita tidak mencampuri yang begini-begini itu karena dalam konstitusi itu merupakan kewenangan lembaga yang mengusulkan yang mengisi jabatan MK," ungkap Arief Hidayat.
Baca: Faisal Basri Merinding Dengar Informasi Patrialis Akbar Ditangkap KPK
Sekadar informasi, hakim konstitusi yang pertama kali ditangkap KPK adalah Akil Mochtar saat menjabat sebagai ketua.
Akil Mochtar yang berasal dari unsur DPR RI, ditangkap terkait suap penanganan sengketa Pilkada Kepala Daerah (Pilkada) Gunung Mas, Kalimantan Tengah tahun 2013.
Dalam penyidikan KPK, kasus tersebut kemudian berkembang dan merembet ke sengketa Pilkada lainnya.
Akil kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung karena vonis seumur hidup.
Akil terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa Pilkada dalam dakwaan kesatu, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), serta Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar).
Sementara hakim ke-2 yang ditangkap adalah Patrialis Akbar yang berasal dari unsur Pemerintah.
Penangkapan tersebut diduga suap terkait uji materi UU nomor 41 tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan.
Hingga kini belum ada status hukum dari KPK kepada Patrialis Akbar.