TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas mendorong pembenahan besar-besaran terhadap kelembagaan Mahkamah Konstitusi. Perubahan harus dilakukan karena sudah dua kali Hakim Mahkamah Konstitusi terjerat oleh KPK.
Pada 2013, Ketua MK saat itu, Akil Mochtar, ditangkap KPK atas dugaan suap dalam suap sengketa Pilkada. Akil tengah menjalani vonis penjara seumur hidup. Lalu belakangan, Hakim MK Patrialis Akbar juga ditangkap tangan oleh KPK karena diduga menerima suap terkait uji materi undang-undang.
"Itu bukti bahwa kualitas dan proses pengawasan internal MK sudah saatnya dilakukan perubahan," kata Busyro di Gedung KPK, Jakarta, Senin (31/1/2017).
Busyro mengatakan, MK tidak bisa lagi menjadi lembaga yang mempunyai kewenangan otonom. MK harus melibatkan unsur publik dalam sistem aturan maupun pengawasan internalnya.
Lembaga lain seperti Komisi Yudisial, yang sejatinya bertugas untuk mengawasi hakim, juga harus dilibatkan.
"Kasus (Patrialis) ini penistaan terhadap Undang-Undang Dasar. Dan itu bukan tanggung jawab tersangka saja. Secara keseluruhan, harus dijadikan pembelajaran oleh institusi MK," kata Busyro.
Patrialis ditangkap di Grand Indonesia setelah diduga menerima suap senilai 20.000 dollar AS dan 200.000 Dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar. Patrialis ditangkap dalam operasi tangkap tangan, Rabu (25/1/2017).
Patrialis ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga menerima suap sebesar sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar.
Pemberian dari pengusaha impor daging Basuki Hariman tersebut diduga agar Patrialis membantu mengabulkan gugatan uji materi yang sedang diproses di Mahkamah Konstitusi.
Perkara gugatan yang dimaksud, yakni uji materi nomor 129/puu/XII/2015. Pengujian tersebut terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Patrialis membantah menerima suap. Patrialis justru menganggap dirinya sebagai korban, bukan seorang pelaku korupsi. Ia meminta agar para hakim Mahkamah Konstitusi serta masyarakat memahami bahwa dirinya sedang mendapat perlakuan tidak adil.
"Demi Allah, saya betul-betul dizalimi. Saya tidak pernah menerima uang satu rupiah pun dari Pak Basuki," ujar Patrialis.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai, penangkapan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar oleh KPK adalah murni penegakan hukum. Ia mengatakan, penangkapan ini tidak ada hubungannya dengan kondisi politik saat ini, termasuk pemilihan gubernur DKI Jakarta.
"Pak Patrialis ini urusan hukum biasa. Jangan dikaitkan dengan agama, pilgub dan sebagainya," kata Mahfud.
Mahfud datang ke Gedung KPK untuk rapat perdana tim panitia seleksi Penasihat KPK. Namun, ia tak menampik sempat ada pembicaraan informal terkait kasus Patrialis dengan para anggota pansel dan pimpinan KPK yang hadir.
"Jadi ini kan sudah mau dibawa kemana-mana seakan-akan ini untuk kepentingan Parpol tertentu. Padahal, kalau kita baca satu per satu, bukan hanya Patrialis. Dari PDI-P ada Damayanti, Nasdem ada Rio Capella (yang dijerat KPK). Dari semuanya lah," kata Mahfud.
Mahfud meyakini, tidak ada diskriminasi yang dilakukan oleh KPK. Proses operasi tangkap tangan terhadap Patrialis ini juga sudah sesuai dengan prosedur.
"Kalau OTT ya OTT. Jangan dibawa ke soal pilgub dan sebagainya. Lihat saja proses peradilannya nanti," kata Mahfud.
Sebelumnya, pengusaha impor daging,\ Basuki Hariman, mengaku memberikan uang kepada Kamal, orang dekat Patrialis Akbar.
"Itu ada, namanya Kamal. Dia teman saya dan juga dekat dengan Pak Patrialis, gitu. Saya memberi uang kepada dia (Kamal)," kata Basuki usai diperiksa KPK, Jakarta, Jumat (27/1/2017) dini hari.
Basuki mengaku memberikan uang kepada Kamal agar dipertemukan dengan Patrialis. Selain itu, Kamal juga menjamin bahwa uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan akan dikabulkan oleh MK.
"Ya ini perkaranya bisa menang, gitu aja," kata Basuki.
Basuki mengaku sudah dua kali memberikan uang kepada Kamal. Yang pertama sebesar 10.000 dollar AS, kedua sebesar 20.000 dollar AS.
Transaksi ketiga baru akan dilakukan, tetapi kasus ini sudah telanjur tercium KPK. "Yang 200.000 dollar Singapura itu masih sama saya. Hari ini mau diambil sama tim penyidik," ucap Basuki.
Kamal mengaku kepada Basuki bahwa uang tersebut akan dipakai untuk ibadah umrah. Basuki meyakini, uang itu tidak sampai kepada Patrialis.
"Jadi selama saya bicara dengan Pak Patrialis, tidak pernah dia bicara sepatah kata pun soal uang. Yang minta uang itu sebenarnya Pak Kamal. Saya merasa, karena dia kenal dengan Pak Patrialis, saya sanggupi untuk membayar kepada dia," ujarnya. (tribunnews/theresia/erik sinaga/kompas.com)