TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Demokrat akan ikut bersama-sama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menggulirkan wacana hak angket terkait status Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang belum dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Padahal, Ahok sudah berstatus terdakwa.
Demikian Wakil Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Syarief Hasan memastikan bahwa partainya sepakat dengan PKS.
Fraksi Demokrat di DPR juga akan bersama-sama PKS menggalang kekuatan menggulirkan hak angket tersebut.
"Fraksi PD juga membuat dan akan bersama Partai PKS dan lainnya untuk menggulirkan hak angket tersebut," ujar mantan Menteri Koperasi dan UKM era Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini kepada Tribunnnews.com, Minggu (12/2/2017).
Baca: PPP Minta Penjelasan Mendagri soal Wacana Hak Angket Ahok
Baca: Wacana Hak Angket Ahok Dinilai Bawa Misi Politik Tertentu
Baca: PKS Wacanakan Hak Angket Soal Ahok, Golkar: Apa yang Harus Dipersoalkan?
Dihubungi terpisah, Partai Golkar mempertanyakan wacana hak angket terkait status Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang belum dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Padahal, Ahok sudah berstatus terdakwa.
"Apanya yang harus dipersoalkan?" tanya Wasekjen Golkar Ace Hasan Syadizly ketika dikonfirmasi Tribunnews.com, Minggu (12/2/2017).
Anggota DPR itu menilai Menteri Dalam Negeri Tjahjo mempunyai argumentasi hukum yang jelas bahwa dugaan penodaan agama yang ditujukan kepada Ahok tuntutan hukumnya belum jelas disampaikan Jaksa
"Apakah pasal 56 yang ancaman hukumannya 4 tahun atau pasal 56 (a) yang ancaman hukumannya 5 tahun," kata Anggota DPR itu.
Mendagri Tjahjo Kumolo, kata Ace, telah menyatakan jika Jaksa Penutut Umum dalam kasus Ahok ini sudah tegas tuntutannya, maka akan segera diambil keputusan.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Almuzzammil Yusuf menegaskan DPR dapat menggunakan Hak Angket jika Presiden RI tidak mengeluarkan surat pemberhentian sementara terhadap Basuki Tjahya Purnama (BTP) atau Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI, sesuai dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 83 ayat 1,2, dan 3.
“Setelah menerima kajian dan aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat, tokoh masyarakat, dan para pakar tentang pengabaian pemberhentian terdakwa BTP dari jabatan Gubernur DKI oleh Presiden, maka DPR RI dapat menggunakan fungsi pengawasannya dengan menggunakan hak angket terhadap pelaksanaan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Pasal 83 Ayat 1,2, dan 3,” tegas Almuzzammil dalam keterangan pers, Sabtu (11/2/2017).
Menurut Almuzzammil, berdasarkan Pasal 83 ayat 1,2, dan 3 Presiden RI berkewajiban mengeluarkan surat keputusan tentang pemberhentian sementara sampai status hukumnya bersifat tetap bagi gubernur yang berstatus sebagai terdakwa yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.
“Sudah cukup bukti dan dasar hukum bagi Presiden untuk memberhentikan sementara BTP dari jabatan Gubernur DKI. Pertama, status BTP sudah terdakwa penistaan agama dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Kedua, yang bersangkutan didakwa pasal 156a dan 156 KUHP tentang penodaan agama dengan hukuman penjara 5 tahun dan 4 tahun,” kata Muzzammil itu.
Almuzzammil mengatakan seharusnya Presiden tidak diskriminatif dengan memperlakukan kebijakan yang sama sesuai peraturan perundang-undangan.
Hal itu karena pada kasus mantan Gubenur Banten dan mantan Gubernur Sumut yang terkena kasus hukum setelah keluar surat register perkara dari pengadilan, Presiden langsung mengeluarkan surat pemberhentian sementara.
Jika kebijakan ini tidak dilakukan, tegas Almuzzammil, maka bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan dapat berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Kasus ini sudah mendapat perhatian publik yang luas. Publik bertanya-tanya kenapa dalam kasus BTP, Presiden menunda-nunda, tidak segera mengeluarkan surat pemberhentian sementara padahal cuti kampanyenya segera berakhir dan masa jabatan PLT Gubernur DKI juga segera berakhir,” ujar Politikus PKS itu.