TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wajar saja kalau kekuatan politik di DPR menggulirkan hak angket terkait Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang tidak dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta meski terdakwa.
Ahli Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin menilai memang Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dituduh melanggar Undang-undang (UU) karena tidak memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
"Presiden memang bisa dituduh melanggar UU. Karena UU sudah tegas bahwa kepala daerah yang bisa diancam dengan ancaman pidana dengan batas bawah ancaman 5 tahun sebagai terdakwa harus diberhwntikan sementara," ujar Irmanputra Sidin kepada Tribunnews.com, Minggu (12/2/2017).
Baca: Ikuti Jejak PKS, Partai Demokrat Juga Akan Gulirkan Hak Angket Ahok di DPR
Baca: PPP Minta Penjelasan Mendagri soal Wacana Hak Angket Ahok
Baca: Soal Ahok, DPR Dinilai Terkesan Obral Hak Angket
Lebih lanjut, Irmanputra Sidin sampaikan dirinya sudah sejak lama mengingatkan agar Presiden memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur ketika sudah berstatus tersangka.
Karena jikalau tidak diberhentikan, kata dia, Presiden Jokowi bisa dituduh melakukan pelanggaran UU.
"Oleh karenanya tidak diberhentikan sementaranya yang bersangkutan sebagai Gubernur, wajar saja kalau kekuatan politik di DPR memepertanyakan ke presiden," tegasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Almuzzammil Yusuf menegaskan DPR dapat menggunakan Hak Angket jika Presiden RI tidak mengeluarkan surat pemberhentian sementara terhadap Basuki Tjahya Purnama (BTP) atau Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI, sesuai dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 83 ayat 1,2, dan 3.
“Setelah menerima kajian dan aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat, tokoh masyarakat, dan para pakar tentang pengabaian pemberhentian terdakwa BTP dari jabatan Gubernur DKI oleh Presiden, maka DPR RI dapat menggunakan fungsi pengawasannya dengan menggunakan hak angket terhadap pelaksanaan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Pasal 83 Ayat 1,2, dan 3,” tegas Almuzzammil dalam keterangan pers, Sabtu (11/2/2017).
Menurut Almuzzammil, berdasarkan Pasal 83 ayat 1,2, dan 3 Presiden RI berkewajiban mengeluarkan surat keputusan tentang pemberhentian sementara sampai status hukumnya bersifat tetap bagi gubernur yang berstatus sebagai terdakwa yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.
“Sudah cukup bukti dan dasar hukum bagi Presiden untuk memberhentikan sementara BTP dari jabatan Gubernur DKI. Pertama, status BTP sudah terdakwa penistaan agama dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Kedua, yang bersangkutan didakwa pasal 156a dan 156 KUHP tentang penodaan agama dengan hukuman penjara 5 tahun dan 4 tahun,” kata Muzzammil itu.
Almuzzammil mengatakan seharusnya Presiden tidak diskriminatif dengan memperlakukan kebijakan yang sama sesuai peraturan perundang-undangan.
Hal itu karena pada kasus mantan Gubenur Banten dan mantan Gubernur Sumut yang terkena kasus hukum setelah keluar surat register perkara dari pengadilan, Presiden langsung mengeluarkan surat pemberhentian sementara.
Jika kebijakan ini tidak dilakukan, tegas Almuzzammil, maka bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan dapat berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Kasus ini sudah mendapat perhatian publik yang luas. Publik bertanya-tanya kenapa dalam kasus BTP, Presiden menunda-nunda, tidak segera mengeluarkan surat pemberhentian sementara padahal cuti kampanyenya segera berakhir dan masa jabatan PLT Gubernur DKI juga segera berakhir,” ujar Politikus PKS itu.