TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memastikan pemerintah akan tunduk apa pun pendapat Mahkamah Agung terkait status Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Jika MA berpendapat Ahok harus berhenti sementara dari jabatannya karena menyandang status terdakwa kasus penodaan agama, maka pemerintah akan langsung memberhentikan Ahok.
Namun, jika MA berpendapat sebaliknya, maka Ahok tetap menjabat. "Ya pasti dong apa pun (diikuti)," kata Tjahjo di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (14/2/2017).
Menurut Tjahjo, permintaan pandangan ke MA ini dilakukan karena adanya multitafsir terkait status Ahok baik di DPR hingga di masyarakat.
Berdasarkan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang menjadi terdakwa harus diberhentikan sementara.
Namun, pemberhentian sementara itu berlaku jika ancaman hukuman yang menimpa kepala daerah di atas lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagian kalangan menilai, berdasarkan pasal tersebut, Ahok harus diberhentikan sementara. Namun, Kemendagri menilai, Ahok tidak bisa diberhentikan sementara karena didiakwa dengan dua pasal alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sementara itu, Pasal 156a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.
Kemendagri akan terlebih dahulu menunggu tuntutan jaksa, pasal mana yang akan digunakan. "Kami hargai berbagai pendapat itu, maka kami lebih enak minta ke MA untuk pendapat hukumnya," ucap Thahjo.
Tjahjo mengatakan, ia akan ke MA pada siang ini untuk meminta pendapat soal status Ahok tersebut. Materi berkasnya sudah ia tandatangani kemarin.
Reporter: Ihsanuddin