News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Berita KBR

Demi Semangkuk Sup Hiu, Pelanggan Rela Bayar Rp 13 Juta

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penganan berbahan dasar hiu ini, satu porsinya pada restoran bintang lima dihargai hingga 13 juta rupiah.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Saat Libur Tahun Baru China atau biasa dikenal Imlek, penganan hiu menjadi makanan yang paling digemari etnis Tionghoa.

Hidangan berbahan dasar hiu ini, satu porsinya pada restoran bintang lima dihargai hingga 13 juta rupiah.

Sayangnya, kehadiran penganan berbahan utama ikan hiu itu mengancam populasi hiu. Ini diperparah dengan belum adanya aturan yang melarang restoran dan hotel berhenti menyajikan hidangan berbahan dasar hiu.

Lantas, apa yang bisa dilakukan agar spesies ini tak habis di meja makan?

Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir  Program Saga produksi dari Kantor Berita Radio (KBR).

Stephen, salah seorang pengunjung restoran masakan Cina di Jakarta, menghabiskan jamuan imleknya bersama keluarga. Tersedia berbagai penganan di atas mejanya,mulai dari mie, pangsit, bebek, ikan hingga semangkuk sup hiu.

“Biasa memang ini, kumpul-kumpul keluarga makan besar. Enggak tahu kenapa pengen makan hiu aja, “ujar Stephen.

Di Indonesia, menu sup hiu bisa ditemukan di banyak tempat, seperti restoran makanan Cina dari kelas menengah, hingga hotel-hotel berbintang.

Gideon Eleazar, seorang staf restoran bintang lima di Jakarta mengatakan, permintaan sajian sup sirip hiu memang tinggi, terutama di acara-acara spesial.

Tambahnya, satu porsi sup hiu dihargai hingga 13 juta rupiah.

“Banyak pengunjung memesan sup hiu di saat moment-moment spesial, seperti ulang tahun, pernikahan, atau mungkin acara makan keluarga,seperti Imlek, “ungkap Gideon Eleazar.

Semangkuk sup yang dinikmati Stephen hanya satu dari 73 ribu porsi sup sirip hiu yang dikonsumsi seluruh dunia per tahun.

Dia tidak sadar, demi menu bernama sup sirip hiu, 150 jenis hiu di dunia terancam punah akibat over fishing. Tahun 2015, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO merilis data bahwa ¾ populasi hiu di dunia diburu.

Akibatnya, pemburu memotong sirip ikan hiu lalu mengembalikannya ke laut. Hiu yang tanpa sirip tak akan mampu mengatur keseimbangan, sehingga ia akan tenggelam kemudian mati kehabisan darah.

Indonesia menempati peringkat pertama sebagai pemburu hiu karena 15% dari 73 juta ton permintaan global terhadap sirip hiu dipasok oleh Indonesia.

Indonesia menempati peringkat pertama sebagai pemburu hiu di dunia.

Perburuan sirip laut ini pun mengancam keberlanjutan ekosisitem laut, sehingga mendorong Coral Triangle Program WWF Indonesia, Wawan Ridwan, menjelaskan hiu merupakan pengendali populasi ikan di laut nomor satu.

Menurutnya, ikan hiu mampu mendeteksi ikan-ikan yang lemah dan dalam kondisi sakit.

“Penelitian mendalam pernah dilakukan di Tazmania, ketika ikan hiu diambil dalamm jumlah yang tidak terkendali. Ikan hiu yang diambil saat itu memakan gurita sehingga populasi gurita sangat meningkat begitu tajam. Seiring declinenya populasi hiu di Tazmania, baru disadari lobster hampir hilang dari kawasan itu karena gurita memangsa lobster secara luarbiasa, “papar Wawan.

Wawan menjelaskan, jumlah kelahiran hiu memang tak bisa menyusul angka yang mati dan hiu memang tergolong spesies yang lambat dalam hal reproduksi.

Sekali beranak, hiu menghasilkan 10 ekor anakan dengan jeda masa beranak antara 2-3 tahun.

“Hiu barangkali salah satu spesies yang relatif lambat perkembangannya. Karena tidak seperti ikan biasa, dia tidak beranak banyak. Tidak seperti tuna misalnya. Oleh karena itu, kita sangat penting untuk melestarikannya,”kata Wawan.

Ancaman inilah yang kemudian menyita perhatian pemerintah pusat maupun daerah.

Tahun 2013, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengimbau agar pengusaha restoran dan hotel di Jakarta berhenti menyajikan hidangan berbahan dasar hiu.

Namun perhatian itu berhenti di imbauan. Sementara Perda yang dijanjikan untuk perlindungan hiu hingga kini belum diteken. Beranjak ke pemerintah pusat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sampai hari ini baru mengeluarkan larangan ekspor bagi jenis hiu yang dilindungi.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Nielanto Perbowo ,mengatakan KKP sudah menyatakan 9 jenis hiu di Indonesia dilindungi.

“Diatur bagi yang dilindungi semua tidak boleh ekspor. Jenis-jeniskan itu kan banyak. Kita harus pahami juga, bahwa banyak masyarakat kita, orang Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari menangkap, berjualan, berdagang ikan hiu,”Ujar Nielanto Perbowo.

Pernyataan itu dibantah oleh Sunda Banda Sea Scape and Fisheries Leader WWF Indonesia, Imam Musthofa. Data WWF justru menunjukkan bahwa 73 persen tangkapan hiu sebenarnya hanyalah tangkapan kebetulan.

“Kalau nanti penghentian hiu, nelayan jungkir balik gimana? Penelitian kami tidak. Karena 73 persen hiu yang ditangkap itu bukan target, tapi tangkapan sampingan. Pengen nangkap tuna, kemudian ketemu hiu. Basicnya kalau ada yang mau beli mereka bawa, kalau ga ada ya mereka buang lagi ke lautan, ”papar Imam Musthofa.

Di antara lemahnya regulasi, muncul upaya-upaya mencari alternatif sajian lain. Ini semua dilakukan demi menghapuskan hiu dari daftar menu.

Si pemburu kini balik diburu. Tidak terkecuali di Indonesia. Setiap tahunnya, belasan ton sirip hiu diperdagangkan. Semua demi semangkuk sup yang dipercaya berkhasiat baik bagi kesehatan.

Di antara bahaya-bahaya itu, muncul berbagai ide untuk mengalihkan perhatian para penikmat sirip hiu.

Salah satunya dengan molecular gastronomy, teknik memasak dengan proses kimia dan fisika. Andrian Ishak, koki sekaligus pemilik Namaaz Dining, sudah mencoba melakukannya.

“Satu tahun, dua tahun lalu kita coba recreate tekstur ikan hiu. Kalau menurut saya pribadi, teksturnya juga enggak yang paling hebat. Enggak akan bikin kita wow. Kita bikin berbagai macam alternatif, bukan hanya pakai gelatin. Berbagai macam teknik supaya lebih baik dari sirip ikan hiu.”ujar Namaaz Dining.

Tekstur sirip hiu pun bukan tergolong yang istimewa kata Andrian. Tidak sulit membuat pengganti sirip.

“Rasanya sebenarnya ga ada. Rasanya ada di supnya. Yang menarik, selain bentuknya kita bikin mirip, kita bikin juga kecil-kecil gitu tapi supnya di dalam siripnya, “kata Andrian.

Beragam cara kreatif dilakoni sebagai upaya menghapus sirip hiu dari menu. Dampaknya mulai terasa, WWF mencatat dalam tiga tahun terakhir, tersisa 30 persen restoran dan hotel di Jakarta yang masih menyediakan sup sirip hiu.

Salah satu yang berhasil saya temui adalah Restoran Bandar Jakarta, sebuah restoran sea food di kawasan Jakarta Utara. July, staf Bandar Jakarta, menjelaskan sejak 2009 mereka sudah menyingkirkan hiu dari menu.

 “Semenjak 2009 kami dapat imbauan. Imbauan dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Udah. Semenjak itu kita stop dari seluruh outlet Bandar Jakarta, ”ujar Ria July.

July mengakui saat itu permintaan pasar terhadap sirip ikan hiu, tinggi. Apalagi menurutnya, sup sirip hiu masuk dalam menu harian yang mereka tawarkan.

Pasca imbauan, restorannya mencoba menyiasati dengan mencari pengganti.

“Kita alihkan ke barang yang lain. Karena kita pikir barang prestise. Kita waktu itu mengadakan kepiting Alaska untuk pengganti hiu,”ungkap July.

Mengganti hiu dari daftar sajian menu, bukanlah persoalan besar. Pakar budaya kuliner, Aji Bromokusumo, menyebut sup sirip hiu sudah ribuan tahun jadi saksi sejarah gengsi manusia.

Dulunya, sup sirip merupakan kuliner istimewa raja-raja. Kini, orang-orang kaya menyajikannya sebagai penegasan status sosial.

“Shark fin ini asalnya dari dapur istana. Baik di Indonesia ataupun Tiongkok sekarang, orang yang kaya, super kaya, ingin menunjukkan prestise, kemampuan finansial, gengsi. Jadi ini loh saya,” ujar Aji.

Ribuan tahun lalu, hiu sudah dianggap sebagai komoditi eksotis. Budaya Tiongkok mengenal ada 8 bahan pangan yang nilainya disamakan dengan logam mulia karena sulit didapat.

Selain hiu, ada teripang, sarang burung walet, ekor rusa, punuk unta, gading gajah, cakar beruang, dan otak monyet.

Keberadaan sirip hiu di meja makan jamuan Imlek sendiri menurut Aji, bukan tidak tergantikan. Secara filosofis, hiu hanya mewakili hewan dari lautan. Keberadaannya bisa digantikan dengan komoditi laut lain.

 “Kita ucapkan syukur dalam tradisi Imlek terdiri dari tiga. Yang bisa terbang di udara, di air berenang, jalan di darat. Darat diwakili oleh daging babi, samchan utuh. Yang dari air diwakili ikan, tidak harus shark fin, ”katanya.

Dari segi rasa, pakar kuliner William Wongso pun mengatakan sebenarnya sirip hiu ini tidak istimewa. Teksturnya lembut seperti gelatin, tak punya rasa khusus.

“Sebenarnya itu hanya kolagen. Yang membuat cita rasanya sirip hiu itu nikmat adalah kaldu yang menunjang sirip hiu itu dan cara memasaknya,”kata William.

Kini, bukan tak mungkin menggantikan sirip ikan hiu dengan komoditi lain. Sunda Banda Sea Scape and Fisheries Leader WWF Indonesia, Imam Musthofa, mengatakan memastikan keberlangsungan hidup hiu di lautan adalah sebuah keniscayaan.

“Pemikiran kami sebenarnya daripada dimakan seperti itu, nilainya akan lebih tinggi kalau dia hidup karena untuk kegiatan tourism dan lain-lain. Sebenarnya masyarakat juga ga masalah kok kalau distop, logical thinkingnya ya, karena 73 persen itu bukan tangkapan target, “ujar Imam.

WWF Indonesia melihat hotel dan restoran menjadi ujung tombak dari perjuangan penyelamatan hiu ini. Mengapa? Menurut Imam, akan lebih efektif memutus rantai perdagangan ini.

“Ketimbang kita ngomong rame dengan si nelayan yang jumlahnya jutaan di seluruh Indonesia, lebih baik ditutup pasarnya. Kalau pasarnya sudah enggak ada ya, nelayannya pasti enggak akan jual kan. Kalau kena misalnya, dibalikin lagi,“tutup Imam.

Penulis: Ria Apriyani / Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini