TRIBUNNEWS.COM - 14 Februari lalu, puluhan perempuan menari di pelataran Gedung Cipta Bakhti II Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Aksi ini merupakan bagian dari gerakan One Billion Rising yang serentak digelar di seluruh dunia.
Tujuannya menggaungkan kesadaran publik mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Lalu seperti apa perayaan itu dilakukan?
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Puluhan orang mulai dari buruh, transgender, ibu rumah tangga, hingga aktivis, kumpul di pelataran Gedung Cipta Bakhti II Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Meski malam itu hujan, dan tak ada lampu, lantaran esok bakal digelar Pilkada Serentak, tapi rencana menari itu tetap dilakukan.
Tanpa pengeras suara, dan hanya mengandalkan lampu mobil plus player musik, tubuh mereka meliuk ke kiri dan ke kanan.
“Kita punya dua simbol malam ini, pertama dengan menari, karena kita ingin merebut kedaulatan kita. Kedua dengan meniup peluit SOS. Peluit ini kita maksudkan supaya menjadi simbol perlawanan ketika ada kekerasan terhadap perempuan di manapun kita jumpai. Kalau melihat ada orang yang mengalami kekerasan, bisa ditiup,” ungkap Lini Zurlia, Koordinator acara.
Menari, menjadi salah satu cara memperingati One Billion Rising selain orasi, berpuisi dan bernyanyi.
“Malam ini bukan hanya perempuan yang mengalami kekerasan seksual, kekerasan domestik, kekerasan yang menyasar pada tubuh langsung, tapi juga perempuan yang bergerak dalam dimensi, dalam sektor, dalam isu yang lain. Perempuan yang menjadi korban SDA, korban penggusuran di pusat kota, perempuan dengan kekerasan berlapis, bukan hanya karena dia beridentitas perempuan, juga karena dia beridentitas lain,” ungkap Lini.
Gerakan ini sendiri serentak dilakukan di seluruh dunia tepat pada 14 Februari atau orang mengenalnya di hari Valentine.
Tapi sebetulnya, One Billion Rising sudah mulai digelar sejak 2012. Tujuannya untuk menggaungkan kesadaran publik mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Mengingat setidaknya 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia setiap hari mengalami kekerasan baik fisik atau psikis.
Dan di tahun ini, tema yang diusung “Bangkit, Menari dan Bangun Gerakan Interseksionalitas Untuk Solidaritas Bagi Perempuan.”
Puluhan orang yang hadir malam itu berasal dari bermacam organisasi, semisal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Arus Pelangi, dan LSM Sejuk .
“Saya perempuan yang hidup sebagai HIV dari tahun 2008. Aku sendiri pernah menjadi korban kekerasan dari tahun 2006 sampai 2008. KDRT,” ungkap Hartini, salah satu yang hadir.
Hartini merupakan pegiat di Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPI). IPI merupakan organisasi yang dihuni Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan terdampak HIV.
Perempuan yang juga positif HIV ini bertutur, ODHA menjadi kalangan yang rentan mengalami kekerasan. Bahkan kekerasan yang diterima ODHA kerap berlapis.
“Banyak sekali perempuan yang tidak mau melaporkan. Banyak pertimbangannya. Mulai dari anak, atau memikirkan nama besar keluarganya. Dan memang pelakunya banyak orang-orang terdekat,” terang Hartini.
Performa lain, datang dari Sindikat Musik Penghuni (Simponi), band yang lagu-lagunya menyuarakan kesetaraan gender, perdamaian, dan keadilan.
mereka juga memainkan lagu berjudul Sister In Danger. Lagu ini menang dalam kompetisi internasional “Sound of Freedom” yang digelar organisasi One Law For All di London Inggris, 2014 silam.
“Maraknya kasus perkosaan dan kekerasan seksual itu bentuk keprihatinan kita. Kita bikin lagu itu. Dan kita dedikasikan seluruh video klip, keuntungan, penjual lagu untuk pendamping dan teman-teman korban,” ujar Bayu Agni, salah satu anggota Sindikat Musik Penghuni (Simponi).
Dari catatan onebillionrising.org, sebanyak 11,4 juta perempuan menjadi korban trafficking.
Selain itu, perempuan di lebih dari 90 negara masih belum mendapat kesetaraan hak atas tanah.
Bahkan lebih dari 60 juta perempuan di dunia dipaksa kawin saat usianya di bawah 18 tahun.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Veni Siregar, menyebut hingga tahun lalu LBH mendampingi 830-an perempuan korban kekerasan.
Kekerasannya beragam, mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hingga kekerasan seksual. Laporan itu tersebar di Jabodetabek.
“Jadi 800an itu dari 2016, yang tertangani masuk ke pengadilan itu 300an. Dan yang diputus itu tidak sampai 30,” kata Veni.
Bahkan, kata dia, ada kasus pelecehan seksual dengan pelakunya keluarga terdekat, entah itu ayah, paman atau kakak laki-laki. Mayoritas, kata Veni, menimpa anak perempuan.
“Yang paling membahayakan itu kekerasan seksual. Kasus insect banyak. Tiga kasus insect (hubungan sedarah) mayoritas dialami anak perempuan. Itu di Jabodetabek,” ungkap Veni.
Sialnya, penegakan hukum jadi lemah ketika berhadapan dengan kasus-kasus tersebut. Sehingga pelaku tak jera mengulangi perbuatannya. Maka tak jarang, perempuan enggan melaporkan kasus yang menimpanya ke kepolisian.
Penulis: Eli Kamila/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)