Meskipun begitu, dia memahami masyarakat yang tidak hadir langsung di acara dan tidak memahami konsepnya, akan terpicu untuk takut dan marah.
"Kita yang datang kan sudah siap dengan elemen kejutnya, tetapi mungkin tidak begitu bagi mereka yang tidak datang. Penerimaannya berbeda. Mungkin (acara ini) memang bukan untuk mereka."
Tidak perlu ke sosmed?
Di Twitter, netizen Kinanti Koesandrini, lewat akunnya @naaand, mencuit seharusnya panitia dan peserta tidak perlu mengunggah foto-foto acara di media sosial, "karena Indonesia itu belum siap menerima hal-hal yang 'aneh'."
Hal serupa disampaikan akun @arimajinarie yang menyebut, "Mereka (penyelenggara) harus ingat bahwa kita di timur ini selalu punya kata "tabu" yang terpatri di kening kita."
Hal ini diakui Kartika. "Sayangnya, kami yang datang tak bisa menikmati sesuatu tanpa mengunggah di sosial media. Kalau membangkitkan trauma, saya juga minta maaf," tutur Kartika.
Meskipun begitu, seniman dan pembuat film Joko Anwar menilai 'tidak ada salahnya' mengunggah konten acara Makan Mayit ke media sosial.
"Eksperimen artistik itu kan untuk membuka pikiran orang, baik yang mengikuti ataupun yang akan menerima informasi itu. Akan muncul pertanyaan-pertanyaan. Setiap kali orang dibuat bertanya, itulah fungsi seni. Kalau ada seni tetapi hanya satu arah, itu bukan seni, itu propaganda," ujarnya kepada BBC Indonesia.
Joko sendiri pernah menulis dan menyutradarai Pintu Terlarang (2009), yang salah satunya mengangkat isu aborsi dan kekerasan pada anak.