TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Propaganda radikalisme dan terorisme tidak hanya menyasar kaum remaja dan orang tua, tetapi juga anak-anak usia dini.
Karena itu, peran orang tua dan keluarga menjadi kunci dalam melindungi anak dari pengaruh radikalisme dan terorisme.
"Orang tua dan keluarga merupakan komponen penting dalam memberikan perlindungan khusus anak dari penyebaran paham kekerasan dan terorisme," ungkap Komisioner Bidang Cybercrime dan Pornografi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Maria Advianti, Sabtu (4/3/2017).
Namun, lanjut Maria, apabila didapati justru orang tua yang mengajak anak mengikuti paham terorisme, maka anak itu perlu mendapat perlindungan dari pengaruh orang tuanya.
Dalam hal ini, negara harus menjamin tumbuh kembang anak tersebut, termasuk perkembangan pemahaman anak agar dapat terlepas dari pengaruh terorisme.
Sesuai dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa anak korban terorisme mendapat perlindungan khusus dari negara.
Menurut Maria Advianti, perlindungan khusus bagi anak korban terorisme dilakukan melalui upaya edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme.
Selanjutnya dilakukan konseling tentang bahaya terorisme. Selain itu juga harus dilakukan rehabilitasi dan pendampingan sosial.
"KPAI telah melakukan upaya-upaya itu sesuai dengan amanat UU tersebut. Untuk menjalankan program ini, kami melibatkan berbagai pihak seperti orang tua, guru, masyarakat, media massa, juga kementrian dan lembaga, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)," papar Maria Advianti.
Seperti diketahui beberapa waktu lalu ada 75 Warga Negara Indonesia (WNI) dideportasi dari Turki karena diketahui akan bergabung dengan kelompok radikal, ISIS.
Ironisnya, sebagian dari mereka adalah anak-anak yang diajak orang tuanya. Saat ini, ke-75 WNI itu sudah berada dalam penanganan Departemen Sosial, KPAI, dan BNPT untuk dilakukan rehabilitasi dan resosialisasi.
Penyebaran paham terorisme ke kalangan anak-anak, tidak lepas dari keberadaan gadget dan media sosial yang kini berkembang pesat di masyarakat. Menurut Maria Advianti, dalam kondisi kekinian, anak memang sulit dijauhkan dari gadget.
"Pada dasarnya anak yang terlahir setelah tahun 2000 merupakan era digital native. Mereka lahir pada zaman digital. Tapi gadget memang memiliki dampak negatif bagi tumbuh kembang anak, meski memang ada dampak positifnya," jelas Maria Advianti.
Untuk itu, terang Maria, solusinya adalah mengatur interaksi anak dengan gadget, mengajarkan anak menggunakan gadget secara positif agar anak dapat mengelola penggunaan gadget dengan bijaksana.
Selain itu, juga harus diberikan pemahaman gadget dapat membantu anak belajar, berinteraksi positif dengan teman-teman di media sosial, serta bisa mencari informasi. Namun gadget juga berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik dan bisa mengakibatkan anak kecanduan dan berperilaku kasar serta egois.
Anak-anak juga harus diberitahu bahwa gadget juga digunakan pelaku kejahatan untuk merayu dan mempengaruhi anak baik kejahatan konvensional maupun kejahatan terorisme.
"Ajarkan anak untuk selalu melaporkan apabila merasa terganggu atau tidak nyaman dengan orang yang dikenal di internet," kata Maria Advianti.
Selain gadget, ungkap Maria, orang tua juga harus aktif mendampingi anak saat berinteraksi dengan buku bacaan, baik buku pelajaran sekolah. Pasalnya, beberapa kali terbukti buku pelajaran anak-anak usia dini yang didalamnya terdapat konten-konten negatif.
Dalam hal ini, KPAI mendorong pemerintah untuk mewujudkan aturan tentang perbukuan demi menjamin informasi yang sesuai dengan tumbuh kembang anak.
"Semoga dengan adanya aturan itu tidak terjadi lagi kasus tentang buku anak yang disisipi ajaran kekerasan, pornografi, dan narkoba yang beredar di masyarakat," tutur Maria Advianti.