TRIBUNNEWS.COM - Kota Solo tengah menuju Kota Layak Anak. Tapi di sana, ada belasan bocah pengidap HIV/AIDS ditelantarkan keluarganya dan pemerintah daerah setempat.
Beruntung ada LSM Lentera yang menampung mereka di sebuh rumah sederhana. Tapi, itu tak selamanya lancar. Mereka kadang diprotes bahkan disuruh pindah.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Di salah satu gang sempit di Kota Solo, Jawa Tengah, ada sebuah bangunan berukuran 6m x 6m.
Di dalam rumah sederhana itu, terpampang tulisan ‘LSM Lentera’. Terlihat belasan anak berusia 1,5 hingga enam tahun tengah bermain, menggambar dan mewarnai.
Bocah-bocah itu adalah Anak dengan HIV/AIDS (AdHA). Kondisi mereka cukup memprihatinkan. Ada yang mengalami kebotakan dan yang lain sakit di bagian telinga.
Puger Mulyono, pengelola LSM Lentera bercerita, bocah-bocah itu ditampung lantaran pihak keluarga menolak membesarkan mereka. Alasannya, tak sanggup menghadapi stigma negatif HIV/ADIS.
Pernah suatu kali, kata dia, relawan menemukan seorang Anak dengan HIV/AIDS ditempatkan di kandang ayam oleh keluarganya.
“Mereka yatim piatu dan diterlantarkan keluarganya. Mereka tidak diterima di masyarakat sampai sekarang. Anak-anak dengan HIV AIDS di sini, paling besar umurnya 13 tahun, paling kecil 1,5 tahun. Saya rawat mereka, karena saya prihatin, saya iba, saya tidak tega dengan mereka,” ungkap Puger.
“Ada satu anak usia 3 tahun kami temukan di rumahnya dikurung di kandang ayam, setiap hari tinggal dan tidur di kandang itu sama keluarganya. Kondisinya penuh luka di kulit, telinga keluar cairan, dan mengenaskan,” tambah Puger.
Di rumah Lentara itu pula, terpampang jadwal pemakaian obat antiretroviral (ARV). Berada di ruang sebelah, terlihat dua tumpukan kardus kecil obat ARV masih tersegel.
Setiap anak memiliki jadwal minum obat ARV yang berbeda, ini karena sebagian besar juga mengidap penyakit lain antara lain TBC dan mata.
“Obat-obatan untuk anak-anak ada di ruangan ini, masih ada dua kardus kecil ARV. Setiap hari di minum. Ini obat untuk HIV, semua anak ada jadwal minumnya, setiap hari dua kali,” kata Puger.
“Ini juga ada vitamin untuk mereka. Ada juga obat untuk anak yang sedang terapi TBC, dampak lain jika kena HIV kan TBC. Ini ada jadwal minum obatnya. Rata-rata anak di sini usia TK. Masih balita,” tambahnya lagi.
Belasan anak-anak tersebut berasal dari berbagai daerah di Jawa tengah maupun Jawa timur.
Puger merasa beruntung karena kini ada donatur yang bersedia mengulurkan bantuan. Bila dibandingkan berharap pada pemda yang sampai saat ini tak kunjung memberi bantuan.
“Kalau dikatain sulit ya gimana lagi, kami tetap sabar dan ikhlas merawat mereka. Alhamdulillah kendala bisa teratasi, banyak yang membantu. Selama ini donatur memang tidak banyak, tapi ya ada yang peduli,” ujar Puger.
“Ya kami berharap pemerintah bisa mengambil alih ini. Anak-anak diasuh oleh pemerintah, dianggarkan dalam APBN maupun APBD, jadi pemerintah menyiapkan rumah untuk anak-anak ini, menyiapkan pengasuh-pengasuhnya, juga layanan kesehatannya juga dijamin. Selama ini pengobatan mereka, kami bayar. Ya ke depan mungkin ada MoU dengan rumah sakit untuk membantu mereka,” tambahnya lagi.
Tak ramahnya rumah sakit pada bocah-bocah itu, diakui Pemerintah Kota Solo.
Pelaksana tugas Sekretaris Daerah Pemkot Solo, Rahmat Sutomo mengatakan, pihaknya masih mencari alternatif penyediaan panti bagi anak-anak itu.
Hanya saja, keinginan tersebut masih terkendala anggaran. Pemkot, kata dia, hanya mengandalkan WPA atau Warga Peduli HIV/AIDS.
“Kita tidak bisa mendirikan di luar lahan milik pemerintah, kita punya beberapa alternatif lokasi tapi masih ada penolakan warga sekitar, sedang kita upayakan,” ujar Puger.
“Pertimbangan kami, jika di panti khusus ini mereka akan lebih terawat kesehatan dan pengobatannya Penganggaran keuangan untuk mereka lebih mudah, mereka juga berasal dari berbagai daerah di luar Solo. Tidak masalah. Kita gunakan strategi panti, nanti biar panti yang mengajukan ke dispendukcapil, agar anak-anak ini terdaftar atau dimasukkan dalam satu Kartu Keluarga panti,” tambahnya lagi.
Terlihat juga berbagai poster bertuliskan ‘Warga Peduli HIV/AIDS’ terpasang di kawasan Mojosongo.
Tapi, ketika ditanyakan pada warga setempat, bagaimana jika ada Anak dengan HIV/AIDS ataupun ODHA yang tinggal di dekat mereka?
Tak ada kata yang terlontar, justru gelengan kepala; tanda tak setuju. Hal itu dimaklumi Puger Mulyono.
Masyarakat kata dia, belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan Anak dengan HIV/AIDS.
Sebab, stigma negatif masih melekat. Keluarga lebih memilih menyembunyikan bocah-bocah itu dari lingkungan sekitar.
“Sebetulnya sih kami ini terbuka di masyarakat, memberanikan diri terbuka pada masyarakat, supaya tahulah. Bahwa hal-hal semacam ini ada di masyarakat. Tapi kalau masyarakat terus ada stigma negatif tentang ADHA maupun ODHA ya mau nggak mau ADHA dan ODHA ini harus sembunyi lagi. Di sini saja ada beberapa masyarakat yang tidak terima tentang keberadaan kami disini terus menerus, mungkin merasa risih dengan kami. Ya kami mau pindah nih,” ujar Puger.
Solo tengah menuju Kota Layak Anak. Tapi, realitanya masih ada anak-anak yang ditelantarkan keluarga dan pemerintah daerahnya.
Direktur LSM Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan HAM (SPEKHAM), Endang Listiyani menyebut, stigma itu tak sepantasnya diarahkan pada anak.
“Seringkali kan masyarakat beranggapan atau memberikan stigma HIV AIDS itu dikarenakan perilaku seksualnya. Lha ini yang kena anak, bayangkan saja, atau Ibu rumah tangga yang tidak tahu apa-apa kemudian ternyata terpapar virus HIV AIDS yang berbahaya dan belum ada obatnya ini. Kasihan sekali. Apalagi anak-anak ini sejak lahir harus menanggung virusnya,” kata Endang.
Penulis: Yudha Satriawan/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)