TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Partai Gerindra Desmond Junaedi Mahesa mengatakan, akan menelusuri lebih lanjut pernyataan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dan mantan anggota Komisi II DPR, Miryam S Haryani.
Saat bersaksi pada persidangan kasus e-KTP pada hari ini, Kamis (30/3/2017), Novel mengungkapkan bahwa Miryam pernah mengaku mendapatkan tekanan dari beberapa anggota Komisi III untuk tidak mengakui adanya pembagian uang hasil korupsi e-KTP.
Hal itu disampaikan Miryam saat diperiksa penyidik KPK pada tahap penyidikan.
Salah satu anggota Komisi III yang disebut menekan Miryam adalah Desmond.
"Karena KPK dan Komisi III mitra gitu lho. Nah saya mengharapkan saya dipanggil ke pengadilan. Saya mau lihat rekaman gimana Miryam ngomong itu dengan Novel. Karena saya khawatir Novel bluffing juga gitu lho," kata Desmond, saat dihubungi, Kamis (30/3/2017).
Desmond bahkan ingin menguji kesaksian Novel yang menyebut namanya dalam persidangan.
"Kalau Novel bisa menunjukkan itu berarti Miryam yang akan dengan saya. Saya ingin dihadapkan dengan Miryam. Saya menekan dia, memengaruhi dia itu gimana, apakah lewat handphone apakah ada pertemuan, kan kita harus tahu," kata Wakil Ketua Komisi III ini.
Desmond menyatakan, saat ini ia memilih tak akan menyampaikan bantahan karena akan dianggap sebagai pembelaan diri.
"Agak susah membantah kalau membantah omongan Novel kalau yang berbohong itu Miryam. Mana mungkin saya membantah Miryam kalau dia bisa membuktikan," kata Desmond.
"Makanya saya ingin berhadapan langsung di pengadilan. Miryam yang bohong atau Novel yang bohong atau saya yang bohong kan enak gitu," ujar dia.
Miryam pernah mengaku diancam
Saat bersaksi di persidangan kasus e-KTP pada Kamis (30/3/2017), penyidik KPK Novel Baswedan mengungkapkan, Miryam pernah mengaku diancam sejumlah anggota DPR periode 2009-2014.
Hal itu diutarakan Miryam kepada penyidik saat pertama kali diperiksa KPK pada 1 Desember 2016.
Kepada penyidik, Miryam mengatakan, para koleganya di DPR melontarkan ancaman terkait pembagian uang proyek e-KTP.
Mereka meminta Miryam tak menyebutkan adanya pembagian uang.
"Saya mengetahui dari media, bahwa ada satu nama yang disebut yaitu Bambang Soesatyo. Yang bersangkutan salah satu orang yang disebut saksi (Miryam) mengancam, Yang Mulia," ujar Novel.
"Dia disuruh tidak akui fakta perbuatan penerimaan uang," kata Novel.
Kemudian, menurut Novel, Miryam juga menyebutkan sejumlah nama lain yaitu anggota Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin, politisi Partai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Masinton Pasaribu, dan politisi Partai Hanura Sarifuddin Sudding.
Ada seorang lagi anggota DPR yang juga mengancam, namun Miryam tak ingat namanya, hanya ingat partainya.
Melalui mesin pencari Google, penyidik menelusuri nama politisi tersebut.
Miryam menunjuk satu foto di internet dan memastikan orang itu juga ikut mengancamnya.
Namun, Novel tidak menyebut nama politisi maupun partainya.
"Kami lakukan penggalian sehingga kami tahu jumlahnya berapa orang (yang menerima uang)," kata Novel.
Pada persidangan sebelumnya, Miryam mengaku diancam penyidik untuk mengakui adanya pembagian uang kepada anggota DPR RI.
Karena merasa tertekan, Miryam akhirnya terpaksa mengakui adanya pemberian uang.
Hakim kemudian memerintahkan jaksa untuk menghadirkan tiga penyidik KPK yang disebut Miryam mengancam.(Rakhmat Nur Hakim)