Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana pemindahan ibu kota negara kembali mencuat ketika Bappenas mengatakan sudah meriset kelayakan daerah lain menggantikan Jakarta.
Beberapa pendapat mengenai pemindahan ibu kota negara dinilai berdasar pada pemikiran Presiden ke-1 Republik Indonesia Sukarno yang menginginkan ibu kota bukan di Jakarta, tapi di Palangkaraya.
Sejarawan JJ Rizal mengatakan pendapat tersebut adalah sebuah pemikiran yang keliru dan dilontarkan oleh orang yang tidak mengetahui sejarah.
Presiden Sukarno pada 1947 memang mengatakan ibu kota negara seharusnya berada di Palangkaraya. Tapi harus diingat saat itu Jakarta masih belum ditentukan sebagai ibu kota negara.
"Tetapi dia langsung meralat usai lawatan ke Palangkaraya pada 1950 dan mengatakan Jakarta menjadi ibu kota negara," ungkap Rizal saat ditemui di Masjid Luar Batang, Jakarta, Jumat (14/4/2017).
"Ada pemikiran keliru jika Sukarno menginginkan ibu kota di Palangkaraya," ia menegaskan.
Masih kata Rizal, konsep Sukarno yang berkembang saat itu sebenarnya terkait pemerataan pembangunan di daerah lain, bukan hanya di Jakarta.
"Tetapi apa? Sekali lagi, Jakarta mengambil semuanya dan tidak ada pemerataan di daerah lain di Indonesia," terang dia.
Isu Basi
Isu pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Palangkaraya bukan hal baru dan sampai saat kepemimpinan Presiden Joko Widodo baru wacana.
"Isu basi. Dari dulu bicara ingin dipindah, tapi mana buktinya? Hanya wacana saja dari dulu," kritik Rizal.
Sebelum Presiden Jokowi, tepatnya masa Presiden Soeharto berkeinginan agar ibu kota negara dipindahkan dari Jakarta ke Jonggol. Di era Presiden Habibie ibu kota akan dipindah ke Sidrap.
Saat zaman SBY, ada konsep Megapolitan yang tidak kunjung selesai hingga hari ini. Belakangan pemindahan ibu kota kembali diwacanakan.
"Tapi tidak ada upaya yang serius dari diskusi mengenai pemindahan ibu kota. Hanya riset saja, tapi tidak pernah dipakai risetnya," ungkap Rizal.