TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Muhammad Adami Okta, perantara pemberi suap kepada pejabat di Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI ternyata dulunya adalah seorang dokter.
Adami kemudian memutuskan meninggalkan profesinya itu dan bergabung di perusahaan PT Melati Technofo Indonesia milik pamannya, Fahmi Darmawansyah.
Fakta baru tersebut terungkap dalam lanjutan sidang dugaan korupsi pengadaan monitoring satelitte di Bakamla tahun anggaran 2016.
"Saudara seorang dokter kan?' tanya anggota majelis hakim Emilia Djajasubagja, di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (28/4/2017).
"Iya, Yang Mulia," jawab Adami Okta.
"Tapi sudah tidak berprofesi itu lagi?" kembali Hakim Emilia bertanya.
"Tidak, Yang Mulia," kata Adami.
Emilia tidak melanjutkan pertanyaan mengenai latar belakang Adami.
Emilia kemudian bertanya mengenai penghasilan Adami dan rekannya sesama terdakwa Stefanus Hardy.
Berdasarkan penuturan Adami, masing-masing mereka memiliki penghasilan Rp 15 juta sebulan dan bisa bertambah jika mendapat bonus apabila ada proyek baru yang didapatkan.
"Paling kami mengharapkan bonus saja, Yang Mulia," kata Adami menjawab penghasilan selain gaji.
Dari persidangan hari ini juga terungkap jika Hardy Stefanus merupakan pegawai baru di PT Melati Technofo Indonesia.
Hardy baru bekerja sejak Januari 2016 dan ditangkap KPK pada bulan Desember 2016.
Kasus tersebut bermula dari operasi tangkap tangan terhadap Eko Susilo Hadi yang menerima uang senilai Rp 2 miliar dari Adami Okta dan Hardy Stefanus.
Eko Susilo adalah Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerjasama Bakamla sekaligus Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla dan Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Bakamla tahun 2016.
Pada kasus tersebut, KPK menetapkan empat tersangka.
Tiga tersangka dari unsur swasta adalah Direktur PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah, dua pegawai PT Melati yakni Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus.
Sementara tersangka dari unsur Bakamla adalah Eko Susilo Hadi.
Eko berasal dari unsur Kejaksaan.
Eko Susilo dijanjikan 7,5 persen dari nilai proyek Rp 200 miilar atau sekitar Rp 15 miliar.
Eko Susilo adalah Kuasa Pengguna Anggaran. Pada pengembangan, KPK telah menetapkan satu tersangka baru yakni Novel Hasan dari Bakamla.