TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hingga kini, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 masih menjadi perdebatan di DPR RI.
Parlemen belum memiliki titik temu atau kesepakatan untuk menentukan angka yang akan dijadikan sebagai aturan.
"Ada sekitar sebelas isu yang jadi perdebatan di DPR terkait Undang-Undang Pemilu. Karena setiap fraksi memiliki pemikiran berbeda untuk tiap poin. Presidential treshold salah satunya," kata anggota Komisi II DPR RI Ace Hasan Sjadzily saat diskusi bertajuk 'Membatasi Ambang Batas Presidential?', di Menteng, Jakarta, Sabtu (6/5/2017).
Menurut Ace, saat ini fraksi di DPR RI terbagi dalam empat kubu yang berbeda dalam menyikapi ambang batas pencalonan tersebut.
Kubu tersebut mulai dari menghapus angka ambang batas hingga ke menaikkan batas lebih tinggi dibanding Pilpres 2014.
Penghapusan presidential threshold didukung oleh fraksi Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Hanura dan Demokrat.
Mereka menilai dalam Pilpres dan Pileg serentak di tahun 2019 tidak perlu ada ambang batas untuk pencalonan presiden.
Sementara fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berpendapat presidential treshold cukup mengikuti parliamentary threshold atau memperoleh dukungan tiga persen suara.
Partai yang sudah masuk parlemen dinilai PKB sudah bisa mengajukan calon presiden.
Sementara empat fraksi lainnya yakni Golkar, NasDem, PKS dan PDI Perjuangan menilai usulan presidential threshold 20 persen kursi atau 25 persen suara perlu dipertahankan.
Dengan begitu, presiden terpilih nanti mendapat dukungan kuat dari parlemen dan bisa menjalankan pemerintahan dengan baik.
"Kalau PPP saya belum tahu ke arah mana karena saya baru seminggu ini dipindah ke pansus," kata wakil sekretaris jenderal Partai Golkar itu.