Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Islam, Zuhairi Misrawi sepakat pasal 156a tetang penodaan agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) direvisi dan dicabut dalam RUU KUHP.
Seperti diketahui, DPR dan pemerintah sedang membahas revisi KUHP dan bakal merevisi sejumlah pasal.
Menurut Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) ini, di dunia Islam, pasal penodaan agama kerap digunakan sebagai alat justifikasi politik bagi kelompok radikal.
"Maka dari itu, sebaiknya kita merevisi KUHAP yang terkait dengan pasal penodaan agama," ujar Gus Mis demikian sapaannya kepada Tribunnews.com, Rabu (10/5/2017).
Menurutnya, dahulu uji materi UU Nomor 1/PNPS Nomor 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan, dan atau Penodaan Agama pernah diajukan Abdurahman Wahid (Gus Dur).
Namun, ditolak Ketua MK yang pada saat itu masih dijabat Mahfud MD.
Tapi, imbuhnya, ada satu rekomendasi yang dikeluarkan MK agar pasal penodaan agama, khususnya PNPs 1965 dapat dievalusi dan dibuat aturan yang lebih jelas untuk menjamin kebebasan beragama dan berpendapat.
Lebih lanjut, isu penodaan agama adalah isu yang sangat sensitif.
Sebaiknya kasus penodaan agama diselesaikan dengan cara-cara dialogis, bukan dengan kriminalisasi.
Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dapat menjadi contoh.
"Padahal Ahok sudah minta maaf dan mestinya sejak awal kasus ini tidak dimeja-hijaukan," kata Gus Mis.
Jika melihat ke belakang, UU ini sebenarnya sudah pernah digugat pada 2010 lalu oleh beberapa koalisi LSM dan perseorangan.
Mereka adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq.
Sementara lembaga yang mengajukan uji materi adalah Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Perkumpulan Masyarakat Setara, Desantara Foundation, dan YLBHI.
Mereka berpendapat UU tersebut diskriminatif karena merupakan pengutamaan terhadap enam agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Serta mengecualikan beberapa agama dan aliran keyakinan lainnya yang juga berkembang.
Namun, permohonan uji materi tersebut akhirnya ditolak MK yang kala itu masih dipimpin Mahfud MD.
Pada 2013 atau tiga tahun setelahnya, UU ini juga pernah digugat kembali pimpinan Syiah Sampang, Tajul Muluk.
Akan tetapi, lagi-lagi UU lawas itu tetap dipertahankan MK di bawah kepemimpinan Akil Mochtar.
Karena masih bertahan, UU ini pun terus menjerat korban.
Peneliti dari The Wahid Institute Muhammad Subhi mengatakan, UU ini sudah memenjarakan banyak orang yang dianggap bersalah menodai atau menistakan agama.
Momentum Hapus Pasal Penodaan Agama
Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban TIndak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia mengatakan putusan sidang Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bisa menjadi momentum menghapus Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.
Putri berpendapat Pasal 156a KUHP yang dianggap sangat general rentan digunakan mengkriminalisasi seseorang.
"Karena terlalu general, tidak ada batasan-batasan orang tersebut bisa dipenjara. Ini sama dengan kita menolak pasal pencemaran nama baik," kata Putri kepada Kompas.com, Rabu (10/5/2017).
"Jadi bisa menjerat siapapun. Tidak terlepas itu mau Ahok, mau siapalah, garis kanan, garis kiri. Pasal ini bisa membayakan siapapun," kata dia.
Putri berujar, negara bisa menggunakan pasal lain jika ada tindakan seseorang yang bertentangan dengan hukum.
"Ada pasal lain soal penghinaan, ada pasal tindak pidana penghasutan atau hate speech itu ada. Kenapa negara tidak menghukum dengan pasal yang tepat?," lanjut dia.
Untuk itu, ia menegaskan, Pasal 156a KUHP tersebut berbahaya jika masih dipertahankan.
"Jadi kasus ini harusnya digunakan menjadi ruang bagi negara untuk mengevaluasi kembali Pasal 165a di KUHP. Karena sejauh ini revisi UU KUHP kan sedang berlangsung di Komisi III DPR," ungkap dia.
Menurut Putri, pada 19 April 2010, Kontras dengan sejumlah pihak lain, mengajukan uji materi akan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Namun, uji materi tersebut ditolak Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan bahwa, belum ada pasal pengganti jika Pasal 156a dihapuskan.
"Saat itu uji materi kami ditolak karena tidak ada landasan hukum yang lain. Jadi kalau UU ini batal, tidak ada pasal lain yang bisa menjadi pengganti pasal itu dibatalkan sehingga masih perlu dipertahankan," kata dia.