TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Disini negri kami..tempat padi terhampar..samudranya kaya raya..Tanah kami subur tuan."
Lagu berjudul Darah Juang itu dinyanyikan dengan semangat oleh 100-an orang yang memadati halaman Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (12/5/2017) malam.
Mereka seakan hanyut mendengar petikan gitar yang dibawakan Dodo dari atas panggung. Ratusan orang tersebut bernyanyi sambil mengepalkan tangan keatas.
Salah seorang peserta aksi, Wahyu Riman mengaku larut terbawa suasana peristiwa 1998 saat menumbangkan rezim Orde Baru.
"Saya terbawa romantisme dulu di jalanan. Ingat masa-masa unjuk rasa menggulingkan orde baru," kata Wahyu sambil ikut bernyanyi.
Hari ini, tepat 19 tahun lalu terjadi peristiwa Trisakti 12 Mei 1998. Aktivis yang tergabung dalam Pena 98 memperingati peristiwa tersebut.
Mereka menggelar aksi teatrikal, pembacaan puisi serta pameran 500 foto aksi 1998.
Puncaknya, mereka mengadakan doa bersama dan aksi 1000 lilin untuk para korban tragedi kerusuhan Mei 1998.
Lilin-lilin itu dinyalakan di atas nisan-nisan bertuliskan nama korban dan peristiwa pelanggaran HAM. Nisan itu tertulis 'Kedung Ombo 1989', ' Balibo 1975', 'Cimacan 1989', 'Udin Bernas 1996', 'Marsinah 1993' dan 'Heri Hertanto Trisakti'.
"Lilin simbol keprihatinan. Kami tidak akan melupakan teman-teman yang gugur dalam peristiwa Trisaksi. Teman- teman yang hilang belum ditemukan, kalau meninggal, kuburannya dimana," kata Aktivis 98 Mustar Bonaventura.
Adapula empat boneka putih berlumuran warna merah darah yang tergeletak di jalanan. Kepala boneka ditutup kain hitam serta tertulis Widji Thukul.
"Hari ini tepat 12 Mei, tragedi Trisakti, 19 tahun lalu. Buat saya dan teman-teman gerakan, enggak pernah kita lupakan catatan sejarah yang terus menerus selama perjalanan bangsa tetap ada," kata Mustar.
Mustar mengakui adanya kegelisahan dan kekhawatiran sejarah perjalanan arah bangsa. Ia melihat adanya kemunduran dari cita-cita perjuangan reformasi.
"Seharusnya maju bergerak, semua negara ke arah negara modern, yang bergerak multi etnis, budaya. Kok Indonesia ada kemunduran di tahun 2016-2017, isu SARA jadi bingkai NKRI, saya dan teman khawatir," kata Mustar.
Mustar menilai situasi saat ini mirip dengan Orde Baru. Sebab, terdapat isu SARA dan rakyat saling diadu domba.
Menurut Mustar, bulan Mei merupakan momentum kebangkitan Orba. Ia mengingatkan rezim Orba harus dilawan karena siap berkuasa kembali. "Saya tidak rela Orde Baru berkuasa kembali. Orba tidak tersentuh pada akarnya, setengah hati setengah jalan," kata Mustar.
Selain itu, Mustar masih meyakini peristiwa 98 dapat terungkap meskipun sulit. Pasalnya, kejahatan tersebut dilakukan secar kolektif dengan melibatkan banyak orang. "Tapi kita tetap harus yakin untuk membongkar konspirasi," kata Mustar.