TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya pemerintah untuk menanggulangi aksi teror, masih terhambat oleh sejumlah hal, menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto.
Salah satu kendalanya adalah Undang-Undang (UU) nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang dinilai belum cukup memberikan akses bagi penegak hukum.
"Tatkala aparat keamanan mengambil langkah-langkah prefentif, selalu dituduh pelanggaran HAM, tapi kalau sudah terjadi bom seperti ini, dikatakan kecolongan," ujarnya kepada wartawan di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Jumat (26/5/2017).
Aksi teror seperti yang terjadi di terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur pada hari Rabu lalu (24/5), adalah aksi yang tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan, dan menihilkan keberadaan negara.
Wiranto menganggap pelaku teror harus ditindak, dan tidak bisa hanya direspon dengan pendekatan lunak atau 'soft aproach."
"Tidak mungkin aparat keamanan yang bertugas menanggulangi teror ini, harus bertugas dengan tangan diborgol, tanpa ada satu senjata undang-undang yang memadai," ujarnya.
"Kalau seperti ini tentunya aparat kemanan tidak mungkin melakukan langkah-langkah preventif yang keras dan tegas untuk mengantisipasi masalah terorisme," katanya.
Oleh karena itu ia berharap pembahasan revisi UU nomor 15 tahun 2013 bisa segera dituntaskan.
Wiranto mengaku sadar masih banyak pihak yang khawatir beberapa poin yang ada dalam rancangan revisi, akan disalahgunakan bila permohonan tersebut disetujui.
"Kita menjamin kekhawatiran Undang-Undang ini disalahgunakan, mudah-mudahan itu akan dapat dihilangkah, kita tahu tanpa undang-undang yang keras, maka untuk melawan terorisme sunguh sesuatu yang sulit," katanya.
"negara lain sudah menggunakan undang-undang yang keras, bahkan negara lain tetangga kita, masing menggunakan 'Internal Security Act,' kita subversif yang sudah dihapus itu, ada lima orang kumpul-kumpul ngomong nggak jelas, (langsung) ditangkap, tentu kita tidak seekstrim itu," katanya.