TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin menyatakan tak perlu lagi dipertentangkan antara agama dan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Pancasila, kata Kiai Ma’ruf yang juga menjabat sebagai Rais Aam Nahdlatul Ulama (NU) ini, adalah solusi kebangsaan (hulul wathaniyah) yang menjadi titik kesepakatan dan kompromi dalam berbangsa dan bernegara.
Bahkan ruh agama menjadi kekuatan besar yang mengilhami lahirnya Pancasila itu.
“Pancasila justru wujud nyata peran agama dalam kehidupan bangsa Indonesia,” kata dia saat berbicara dalam Workshop bertajuk “Pengawasan Melalui Peneguhan Pancasila Bagi Aparatur Sipil Negara” yang digelar Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenag di Jakarta, Selasa (30/2017).
Namun, Kiai Ma’ruf mengingatkan perlunya kembali penguatan pemahaman dan pengalaman Pancasila.
Hal itu mengingat belakangan ini muncul gerakan radikal kanan yang hendak mengganti ideologi negara. Kelompok ini tak memiliki komitmen kebangsaan dan kenegaraan serta tak menghormati kesepakatan.
Dia menyebut, misalnya kelompok pengusung sistem khilafah yang bukan termasuk kesepakatan ulama (mujma’ alaih).
Sistem yang ternyata tidak dipraktikkan di negara kelahirannya, Lebanon.
Di Timur Tengah pun sistem ini tak populis. Arab Saudi menerapkan sistem kerajaan, begitu juga Yordania, dan ada pula yang memberlakukan sistem republik.
“Kita punya konsensus nasional dan jika mau mengubahnya itu berarti pengkhianatan kesepakatan,” kata Kiai Ma’ruf yang belum lama ini mendapat penganugerahan gelar guru besar bidang ekonomi syariah dari UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang Jawa Timur.
Di sisi lain, ungkap dia, muncul ideologi liberal yang hendak melegitimasi agama dan menafsirkan Pancasila secara sekularistik.
Dia pun mengajak segenap elemen bangsa menjaga Pancasila dari rongrongan kelompok kanan ataupun kiri.
Ma’ruf mengungkapkan dalam sebuah pertemuan dengan Presiden RI Joko Widodo, dia menegaskan, MUI yang menjadi wadah 70 ormas Islam, memiliki komitmen kuat berada dalam konsensus kebangsaan dan kenegaraan itu.
Karena itu, imbuh dia, ormas Islam yang tak berkomitmen terhadap Pancasila tidak berada dalam barisan MUI. Dalam kesempatan itu, pihaknya juga menolak pelengseran pemerintah yang sah dengan cara inkonstitusional.
Pada pertemuan itu pula, dia mengusulkan kepada Presiden segera menggelar dialog nasional multielemen bangsa yang bersifat solutif, antisipatif, dan rekonsiliatif.
Dalam workshop ini, Kiai Ma’ruf juga menekankan pentingnya peran Kemenag untuk aktif kembali menekankan nilai-nilai Pancasila sebagai perekat antarumat beragama dan modal konstitusi untuk menciptakan dan menjaga kerukunan.
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengatakan Pancasila adalah sumbangsih luar biasa dari para pendiri bangsa. Bahkan kebaradaan Pancasila mendapat pengakuan dan apresiasi dari dunia internasional.
Dia mengutip perkataan mantan duta besar Italia untuk Malaysia dan ASEAN, Mr Robert, yang memuji Pancasila dan meminta Indonesia tetap mempertahankannya. Bagaimanapun Pancasila adalah produk perjanjian yang melewati proses tak sederhana di tengah fakta kemajemukan Indonesia.
Meski demikian, dia menggarisbawahi dua tantangan yang harus mendapat perhatian semua pihak, tidak hanya pemerintah tetapi juga segenap elemen bangsa.
Tantangan pertama yaitu tantangan ideologis dan intelektual. Ada sebagian kecil umat Islam yang mempermasalahkan Islam sebagai dasar negara dan ingin mendirikan negara Islam.
Bagi NU dan Muhammadiyah, kata dia, persoalan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sudah selesai. Ini seperti penegasan dalam Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar.
Namun demikian, Mu’ti mengatakan ada persoalan di aspek fungsional Pancasila yang menjadi pekerjaan rumah semua pihak, yaitu bagaimana Pancasila dijadikan sebagai praksis sistem dan ideologi menuju bangsa yang adil dan makmur.
Dalam level ini, Pancasila belum sepenuhnya dijadikan landasan pergerakan bangsa. Jika ini bisa dilakukan maka, dia berkeyakinan tak akan ada lagi yang meragukan Pancasila. “Jika ini tak terselesaikan maka wajar muncul ideologi lain,” tutur dia.