TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah tulisannya yang berjudul 'Warisan' viral, siswi SMA Asa Firda Inayah alias Afi Nihaya Faradisa diundang dalam Program Rosi "Warisan: Islam, Pancasila dan Indonesia", di Kompas TV, Selasa (30/5/2017) malam.
Dalam talk show ini, remaja asal Banyuwangi itu mengungkap kisah alasannya membuat tulisan berjudul Warisan.
Kondisi lingkungan yang panas dan nyaris tercerai berai karena isu SARA menggerakkan dirinya memposting tulisan berjudul “Warisan” di dunia maya.
"Latar belakang saya menulis karena melihat kondisi lingkungan saya yang nyaris tercerai berai, yang suasananya panas, baik di dunia media sosial maupun nyata karena isu SARA," kisah Afi -sapaan Asa Firda Inayah- yang baru lulus bangku sekolah menengah atas ini.
Panasnya perhelatan Pilkada DKI Jakarta, bagi Afi kelihatannya juga menjalar ke daerah, termasuk di Banyuwangi, tempatnya tinggal.
Dia merasakan dan melihat sendiri, bagaimana isu SARA yang dihembuskan berdampak pada pertemanannya sendiri.
"KTP-nya Banyuwangi, bukan Jakarta. Ribut soal Pilkada Jakarta," ujar Afi.
Remaja asal Banyuwangi mengaku sering mendapat ancaman pascastatusnya di akun Facebooknya viral dan disukai banyak orang.
Ancaman itu datang dari kotak masuk perpesanan di Facebook-nya dan telepon dari orang tidak dikenal.
"Saya dianggap sebagai liberal, sekuler dan tidak berpihak kepada Islam," kata siswi kelas III SMA Negeri 1 Gambiran, Banyuwangi itu saat ditemui di Kota Malang, Jumat (19/5/2017).
Namun demikian, Putri dari pasangan Wahyudi dan Sumarti itu memilih untuk tidak merespons ancaman tersebut.
Akun Facebook milik Afi Nihaya Faradisa menjadi viral karena statusnya yang inspiratif.
Akun miliknya sempat tidak bisa diakses pada Rabu (17/5/2017) karena diblok oleh Facebook akibat banyak yang melaporkannnya.
Namun, Facebook akhirnya kembali membuka akun itu atas permintaan dari pembacanya.
Tulisan menohok itu berjudul 'Warisan' Status Facebook bernama Afi Nihaya Faradisa kembali viral di dunia maya.
Tulisannya memang sudah dikenal publik karena berbeda dari status remaja seusianya.
Status Afi, panggilan akrabnya tersebut memang sangat kritis sekaligus inspiratif.
Sudah banyak tulisannya yang menjadi viral di media sosial.
Seperti tulisannya kali ini yang ia tulis di akun Facebook-nya pada, Senin (15/5/2017).
Jika tulisan Afi sebelumnya membahas mengenai eksperimennya tidak menggunakan gadget selama beberapa hari ini, kali ini Afi menuliskan tentang keberagaman.
Tulisannya tersebut ia beri judul 'Warisan', melalui tulisannya itu, Afi mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk menjaga toleransi khususnya di media sosial yang rawan dengan gesekan-gesekan antar penggunanya.
Afi, yang merupakan siswa SMA Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur itu, menyoroti soal identitas, seperti agama, suku, ras, maupun kebangsaan merupakan warisan dari orang tua.
Melalui tulisannya, Afi juga mengajak pada seluruh rakyat Indonesa untuk menghayati Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan juga semboyan Bhinneka Tunggal Ika bahkan sampai kehidupan toleransi beragama tetap terjaga.
Berikut tulisan lengkap Afi yang ia tuangkan di akun Facebook pribadinya tersebut.
WARISAN
Ditulis oleh Afi Nihaya Faradisa
Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita.
Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar.
Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata, teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya.
Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.
Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya.
Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman".
Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan.
Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".
Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan?
Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.
Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain.
Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir
Pada bagian kolom komentar, Afi sempat menuliskan lagi pendapatnya soal tulisan yang ia buat tersebut
"Ini adalah tulisan untuk membenahi landasan berpikir kita, jangan apa-apa dihubungan ke Pilkada Jakarta.
Mengutip perkataan John Dewer, "Pikiran itu seperti parasut; hanya berfungsi ketika terbuka," tulis Afi.