Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme masih menjadi perdebatan dalam pembahasan Revisi Undang-undang (RUU) Anti Terorisme.
Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris melihat pelibatan TNI dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme merupakan bentuk pengkhianatan cita-cita reformasi.
"Reformasi melahirkan banyak institusi baru termasuk melahirkan Undang-undang Anti-Terorisme dengan model penegakan hukum, kalau kita melenceng, kita bergeser dari penegakan hukum, maka kita mengkhianati amanat reformasi itu sendiri," kata Charles melalui pesan singkat, Kamis (1/6/2017).
Charles mengaku tidak anti melibatkan militer dalam upaya pemberantasan terorisme yang sedang dibahas di DPR. Namun, Politikus PDIP itu hanya ingin mendudukkan institusi tersebut pada porsinya.
"Anggota TNI itu dilatih dan dididik untuk perang serta untuk pertahanan negara. Sedangkan, untuk penegakan hukum dilakukan pihak kepolisian, Densus 88 oleh pihak penegakan hukum," ujar Charles.
Charles mempertanyakan peran prajurit TNI bila dijadikan penyidik, kemudian melakukan penangkapan dan melakukan penyidikan terhadap terduga teroris. "Karena ini akan menjadi suatu kecacatan hukum ya," kata Charles.
Selain itu, Charles menilai pernyataan Presiden Joko Widodo yang ingin melibatkan TNI dalam pemberantasan terorisme di Revisi Undang-undang Terorisme banyak disalahartikan. Menurutnya, presiden ingin TNI dilibatkan dalam berantas teroris secara terbatas.
"Karena sebagai panglima tertinggi, saya yakin presiden memahami terkait aturan UU terkait dengan tupoksi TNI," kata Charles.
Mengacu pada Undang-undang TNI Nomor 34 Tahun 2004, kata Charles, militer dapat dilibatkan dalam upaya pemberantasan terorisme atas dasar keputusan politik negara dan tidak ada yang melarang atau menghalangi TNI ikut berantas terorisme.
"Kedepannya praktiknya, maksudnya bisa saja asalkan ada permintaan dari penegak hukum kepolisian. Maka TNI bisa saja terlibat pemberantasan terorisme," kata Charles.