Laporan wartawan Tribunnnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - AKBP Raden Brotoseno tetap dituntut pidana penjara tujuh tahun dan denda Rp 300 juta.
Kepala Unit III Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri tersebut didakwa kasus gratifikasi.
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menolak nota pembelan Brotoseno.
Uang yang diterimanya dinyatakan bukan uang uang pinjaman untuk biaya berobat orangtuanya di Surabaya.
Jaksa Retno Liestyanti menjelaskan alasan penolakan nota pembelaan Brotoseno.
Dikatakannya penyerahan uang kepada Brotoseno didahului dengan beberapa peristiwa mengenai pengaturan pemanggilan saksi pemilik Grup Jawa Pos Dahlan Iskan.
Dahlan Iskan sebelumnya dijadwalakan akan diperiksa di Bareskrim Polri terkait dugaan korupis cetak sawah di Kalimantan Barat.
Retno justru menyindir mengenai kompetensi Brotoseno yang pernah menjadi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dan memiliki keahlian lainnya.
Keahlian mantan penyidik KPK tersebut dilampirkan saat membacakan nota pembelaan atas pleidoi dalam sidang sebelumnya.
""Dengan segudang pengalamannya sebagai penyidik di KPK dan berlembar-lembar sertifikat keahliannya sebagai terlampir dalam pembelaan pribadi," kata Jaksa Retno Liestyanti saat membacakan replik di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (2/5/2017).
Menurut jaksa, seharusya Brotoseno sebagai mantan penyidik KPK dengan segudang pengalaman bisa melihat niat tidak baik Lexi Haris Budiman.
'Seharusya terdakwa bisa melihat niat tidak baik dari saksi Lexi Haris Budiman untuk mempengaruhi integritas dan profesionalitas dari aparat penegak hukum dalam pelaksaan tugasnya," katanya.
untuk mempengaruhi integritas dan profesionalitas dari aparat penegak hukum dalam pelaksaan tugasnya,"
Lexi Haris Budiman adalah perantara suap kepada Brotoseno.
Kata Retno, seharusnya Brotoseno patut menduga uang yang dia terima tersebut terkait pekerjaannya apalagi menangani kasus tersebut.
"Seharusnya terdakwa patut dapat mengira bahwa pemberian Lexi berhubungan langsung atau tidak langsung dengan tugas dan tanggung jawabanya sebagai aparat penegah hukum," kata Retno.
Dari jawaban replik yang dibacakan, Retno membeberkan runtutan pertemuan-perteman yang membuat pihaknya menyatakan Brotoseno dan kawan-kawan menerima uang gratifikasi.
Pertemuan tersebut terjadi akhir Juni 2016 dimana Harris Arthur Hedar selaku Corporate Lawyer JPNN (Jawa Pos) bertemu dengan Direktur Utama Jawa Pos Nasional Network (JPNN) Suhendro Boroma.
Pertemuan tersebut untuk membicarakan panggilan penyidik Badan Reserta Kriminal Mabes Polri terhadap Dahlan Iskan.
Kemudian, Harris Arthur Hedar bertemu dengan Lexi Mailoa Budiman di Plaza Indonesia pada 26 Agustus 2016.
Keduanya membicarakan mengenai uang operaisonal dan legal fee untuk kepentigan penundaan pemanggilan Dahlan Iskan dan disusul dengan transfer uang kepada Harris Hedar.
Lexi digunakan karena dikenal memiliki banyak teman di Bareskrim Mabes Polri.
"Ditansfer lah uang sebesar Rp 3,5 miliar ke saksi Lexi Budiman untuk kepentingan operasional," katanya.
Selanjutnya saksi Lexi Budiman menghubungi Dedi Setiawan Yunus, perwira polisi di Bareskrim Polri.
"Pada saat pertemuan tersebut lagi-lagi saksi Lexi Mailoa Budiman mengutarkan persoalan yang dihadapi saudara Dahlan Iskan," katanya.
Kemudian dijanjikan saksi Dedi Setiawan Yunus untuk mempertemukan dengan penyidiknya terdakwa Raden Brotoseno.
Brotoseno kemudian bertemu dengan Lexi Mailoa Budiman.
Pada saat pertemuan tersebut kembali disinggung penundaan pemeriksaan Dahlan Iskan hingga kemudian berujung pemberian uang kepada Brotoseno.
"Walaupun disebut sebagai pinjaman adalah aneh dan tidak lazim," katanya.
Keanehan tersebut karena ada orang baru bertemu beberapa kali kemudian meminjam atau diberi orang pinjaman dalam jumlah besar tanpa dibuatkan akta pinjaman atau semacamnya.
Brotoseno dan terdakwa sesama rekannya di kepolisian, Dedy Setiawan Yunus dituntut pidana penjara 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum menilai keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan perbuatan korupsi.
Mereka dianggap terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ssebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.