TRIBUNNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Intelijen Negara (BIN) menerima laporan masuk dari Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai sebuah transaksi keuangan.
Sebuah rekening menerima transfer uang Rp 24 miliar setiap hari.
Transaksi fantastis tersebut akhirnya dibiarkan dan tidak bisa diambil tindakan lebih lanjut.
Uang tersebut akhirnya diidentifikasi sebagai pendanaan terorisme ketika terjadi sebuah tindakan teror.
Pengalaman tersebut disampaikan Direktur Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Hari Purwanto mengenai kekurangan kewenangan kepada Densus 88 dalam pencegahan tindak pidana terorisme.
"Sudah ada duit masuk ke rekening tapi ke mertuanya. Mosok mertuanya ditangkap? ibu-ibu lagi. Setelah kejadian oh dana ini dari si ini untuk ini," kata Wawan saat diskusi bertajuk 'Membedah Revisi Undang-Undang Terorisme' di Cikini, Jakarta, Sabtu (3/5/2017).
Selain itu, Wawan menuturkan pihaknya memilliki 2.691 data yang diduga terkait terorisme.
Akan tetapi, karena kekurangan bukti permulaan yang cukup, data-data tersebut hanya diawasi. Tidak bisa ditindak karena kekurangan kewenangan.
Wawan mengatakan petugas tidak bisa asal bertindak karena bisa diperaperadilankan dan dituntut melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Kekalahan di praperadilan dan dituntut melanggar HAM bisa berbuntut ke karir petugas yang menangkap.
"Kalau seorang itu ditangkap terus buper (kurang), dia menuntut pasti karir penangkapnya ini bermasalah. Apalagi sudah di-viral-kan kemana-mana. Pelanggaran HAM sampai ke Mahkamah Internasional," ungkap Wawan.
Wawan mengatakan pihaknya mendukung revisi Undang-Undang Terorisme dan aparat diberikan kewenangan dalam pencegahan.
"Makanya begitu ada penangkapan panjang akhirnya baru terjadi tuduh menuduh. Kita kan kebiasaan seperti itu, kita ingin tidak ada tuduh menuduh, kasih kewenangan yang jelas," kata dia.