Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, Almas Sjafri menilai terdapat kesalahpahamam dalam mengkaji masalah Pemilu.
Indikasinya yakni solusi yang diusulkan pemerintah dan DPR dalam Rancangan UU Pemilu nomor 8 tahun 2012.
"Salah satunya yakni adanya usulan pembiayaan saksi oleh negara," kata Almas di kawasan kebayoran Baru, Jakarta Selatan, (11/6/2017).
Menurut Almas dengan membebankan pelatihan saksi kepada negara menadakan bahwa fungsi partai politik tidak berjalan.
Padahal Parpol menurutnya sudah mendapatkan dana yang cukup besar dari negara yakni Rp 13,1 miliar.
"Belum di tingkat provinsi, dan daerah. Data dari kemendagri pada 2016, total bantuan 386 untuk 34 provinsi lebih dal lebih dari 500 kabupaten/kota, sebesar Rp 386 miliar," katanya.
Seharusnya menurut Almas dengan dana sebesar itu pelatihan saksi tidak perlu lagi menjadi perdebatan dan dibebankan kepada negara.
Apalagi alokasi dana tersebut difokuskan pada pendidikan politik bagi kader dan masyarakat.
"Dengan dana seharusnya parpol bisa memberikan edukasi pada masyakat, misal, apa bahanya politik uang, melatih kepada kadernya berkampanye tanpa memberikan politik uang," katanya.
Sebelumnya Pansus RUU Pemilu sepakat jika pelatihan saksi akan dilakukan negara melalui Bawaslu.
Pelatihan saksi itu mencuaat setelah usulan biaya saksi oleh negara ditolak.
Latar belakang pelatihan saksi dibiayai negara, agar terdapat kesamaan fungsi dan tugas saksi di setiap TPS.
Sementara itu Kordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat ( JPPR) Sunanto mengatakan pelatihan saksi oleh Bawaslu, tidak sesuai dengan desain atau tugas penyelenggara Pemilu.
"KPU dan Bawaslu adalah penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan fungsi, dan kewenangan yang berkaitan dengan Pemilu dengan sikap non partisan, netral, dan imparsial," ujar Sunanto.
Dengan membebankan pelatihan saksi kepada negara menurut Sunanto, maka posisi dan peran penyelenggara pemilu dengan peserta pemilu telah tercampuraduk.
"Selain itu pendanaan tersebut memberikan tanggungjawab lebih kepada presiden, sebagai pengusul APBN, jika beban anggaran terlalu besar maka Presiden dianggap tidak mampu mengatur keuangan negara," ucapnya.