TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Persekusi bukanlah istilah sembarangan.
Istilah tersebut salah satunya digunakan untuk menggambarkan aksi genosida di Rwanda yang terjadi pada tahun 1995 lalu, yang menyebabkan 500 ribu sampai 1 juta orang tewas.
Namun menggabarkan peristiwa pengejaran sewenang-wenang yang banyak terjadi di Indonesia pascaPemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, menurut Kordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan(Kontras), Yati Andriyani, istilah persekusi tetap pantas digunakan.
"Iya, tentu harus dibuktikan unsur sistematisnya seperti apa, unsur meluasnya seperti apa, harus dibuktikan," ujarnya kepada wartawan di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2017).
Jika persekusi yang terjadi di Indonesia saat ini terbukti unsur sistematis atau terorganisir dan meluas, maka hal itu bisa dikatakan sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan hal tersebut adalah kejahatan serius yang harus disidangkan melalui sidang HAM Ad Hoc.
Acuan soal meluas dan terorganisir, diatur di Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
Jika unsur-unsur tersebut bisa dibuktikan, maka penegak hukum, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), harus menindak lanjuti.
"Basisnya tentu tidak bisa peristiwa, di luar negeri kan basisnya peristiwa, kalau di kita kan basisnya individu, sporadis. Dari sporadis ini komnas harusnya bisa melakukan kajjian dan penyelidikan untuk menemukan pola-pola itu," ujarnya.
"Kalau ada berkaitan, negara sudah melakukan apa. Negara ada pembiaran nggak, kalau ada pembiaran negara, sangat mungkin ini pelanggaran HAM," katanya.