TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA – Agustinus Sardjono Hadisurjo (66) menjadi salah satu orang yang paling beruntung ketika mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, berlibur ke Yogyakarta belum lama ini.
Dia berkesempatan bersalaman dan berfoto dengan Presiden Amerika Serikat ke-44 yang dikawal ketat pasukan pengamanan presiden (Paspampres) dan Secret Service selama liburan di Indonesia itu.
Bukan tanpa sebab, Sardjono merupakan dalang wayang kulit yang diundang Obama untuk tampil di Hotel Tentrem sehari sebelum meninggalkan Kota Gudeg atau tepatnya Kamis (29/6/2017) malam.
Obama menyaksikan penampilannya di Executive Lounge lantai delapan hotel selama 35 menit.
Meski singkat, Sardjono menampilkan lakon Aji Norontoko dengan tokoh utama Gatotkaca dan Raden Dursala.
Sardjono memang tak setenar Ki Manteb Soedharsono, dalang wayang kulit asal Jawa Tengah.
Sehingga, pria tuna netra ini lulusan sekolah dalang Keraton Yogyakarta Itu merasa sangat bersyukur bisa tampil di depan Obama, sosok yang sangat dikenal masyarkat dunia.
“Sebetulnya saya tampil ditonton tukang becak juga tidak masalah asalkan senang wayang kulit. Makanya saya kaget karena yang menonton ini Obama, Mungkin ini juga campur tangan Tuhan karena banyak dalang yang hebat tapi kok beliau (Obama) memilih saya,” tutur Sardjono di kediamannya Jalan Veteran, Gang Ranudimejo, Kota Yogyakarta, Kamis malam.
Dalam penampilannya, Sardjono menggunakan Bahasa Jawa, namun sesekali ia juga menggunakan Bahasa Inggris.
Bahasa Inggris dipakainya ketika menampilkan tokoh Petruk di tengah-tengah cerita.
Momen itu pula yang disukai Obama dan keluarganya lantaran kemunculan Petruk dan punokawan itu selalu mengundang gelak tawa.
“Intinya kami berterima kasih kepada Obama mau menyaksikan wayang kulit. Ya ucapannya tidak panjang-panjang,” ujar Sardjono sembari bercanda.
Sardjono memilih lakon Aji Norontoko bukan tanpa alasan.
Awalnya ia ingin menampilkan lakon Wahyu Cakraningrat yang ceritanya memiliki kaitan dengan kedatangan Obama ke Indonesia.
Namun, karena waktu yang diberikan hanya 35 menit, ia mencari lakon yang ceritanya bisa diringkas karena kisah Wahyu Cakraningrat sulit disingkat.
Selain itu, cerita tentang Aji Norontoko itu memiliki nilai-nilai tentang seorang ksatria dan jiwa patriotisme.
Sebab, Gatotkaca sebagai tokoh utama dalam cerita itu berani bertarung untuk membela keadilan dan kebenaran.
“Cerita ini juga ingin menunjukkan jika Indonesia punya Pancasila yang menjadi representasi sifat bangsa Indonesia, satu di antaranya jiwa patriotisme,” kata Sardjono.
Tak hanya pengalaman tampil di depan Obama, Sardjono juga mendapatkan momen berharga.
Usai mendalang, Sardjono langsung dihampiri Obama ke panggung.
Ia mengatakan, pria yang pernah tinggal di Jakarta semsa kecilnya itu langsung mengucapkan terima kasih dan merangkulnya.
“Walau tidak begitu jelas, dia juga bilang pertunjukan malam ini bagus dalam Bahasa Indonesia,” kata Sardjono.
“Asisten (Obama) juga bilang tonight is execellent peformance kepada saya,” tambah Sardjono.
Tak hanya dirangkul, Obama memintanya untuk berfoto bersama.
Padahal, kata dia, kamera tidak diperbolehkan masuk ke lokasi pertunjukan wayang.
Selain itu, ponsel harus dalam posisi mati selama berada di dalam lokasi pertunjukan.
“Momen ini yang sangat istimewa karena waktu masuk kami tidak boleh mengambil gambar termasuk untuk dokumentasi. Tapi kenapa setelah selesai Obama suruh motret makanya itu istimewa sekali kemudian seluruh kru karawitan juga potret bersama,” ucap Sardjono.
Sardjono berharap, penampilannya di hadapan Obama itu bisa menggugah kawula muda untuk mencintai budaya tradisional khususnya wayang kulit.
Menurutnya, wayang kulit memiliki nilai filosofis yang tinggi yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
“Buat saya ya mudah-mudahan ini bisa memotivasi saudara kita yang sampai hari ini tidak kenal wayang dan cuek dengan wayang dan pedalangan. Menjadi dalang itu multitalent approach karena terdapat seni suara, seni gerak dan seni tari,” kata Sardjono.
Dalang tuna netra pertama
Meski tak mengklaim, Sardjono yang menjadi tuna netra sejak berusia 28 tahun itu, bisa disebut sebagai dalang wayang kulit berkebutuhan khusus pertama di Yogyakarta.
Sebab, pria yang juga pengurus organisasi difabel DI Yogyakarta itu belum menemukan dalang wayang kulit berkebutuhan khusus lainnya.
Dengan kegigihannya pula meski kehilangan indra penglihatannya, Sardjono bisa membuktikan diri menjadi dalang wayang kulit.
Menjadi tuna netra memang bukan hal yang dikehendakinya. Ia harus kehilangan pekerjaan di salah satu hotel karena kekurangan fisiknya tersebut.
Ia pun sempat ditolak menjadi staf pengajar di kampusnya lantaran menyandang status tuna netra.
"Saya menjadi tuna netra awal pada tahun 1979, sedikit demi sedikit jadi tuna netra sampai 1983," kata Sardjono.
Sejak saat itu Sardjono mencari nafkah lewat kesenian. Awalnya, pria kelahiran Gunungkidul ini menjual hasil karyanya seperti lukisan wayang, wayang beber, wayang kulit, dan patung dari tokoh pewayangan sebelum menjadi dalang wayang kulit.
"Sejak usia lima tahun saya sudah kenal dengan kesenian tentang wayang karena di tempat tinggal saya dulu banyak pelaku seni. Selain itu ayah saya dulu juga penggemar wayang kulit," kata Sardjono.
Kesenangannya kepada wayang itu pula yang membuatnya bisa membedakan tokoh wayang kulit ketika tampil di atas panggung.
Baru pada awal 2014, ia memutuskan untuk menjadi dalang. Ia menimba ilmu di sekolah dalang di Keraton Yogyakarta selama tiga tahun.
Kala itu ia menimba ilmu bersama belasan calon dalang dengan kondisi fisik normal. Namun ia bisa lulus dengan memuaskan tanpa kendala berarti.
Pria lulusan pendidikan luar biasa IKIP Yogyakarta ( kini UNY) itu menggunakan metode anak berkebutuhan khusus untuk bisa menjadi dalang.
Hal itu dilakukannya agar penampilannya tetap sempurna di depan penonton. Sebab penampilannya di atas panggung harus tak berbeda seperti dalang wayang kulit pada umumnya.
Dalam pertunjukan wayang kulit, tidak ada ungkapan kasihan atau dimaklumi lantaran dalangnya berkebutuhan khusus.
"Untuk membedakan bagian depan dan belakang wayang misalnya, saya tempel semacam tanda di pegangan wayang kulit. Jika jempol saya memegang tanda itu, berarti wayang kulit menghadap ke depan," kata Sardjono.
KOMPAS.com/Kontributor Yogyakarta, Teuku Muhammad Guci Syaifudin