Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyatakan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), yang diterbitkan pemerintah, bakal diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Juru bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto mengatakan, tidak ada alasan yang bisa diterima akan penerbitan aturan pengganti undang-undang itu.
Semestinya pemerintah kata Ismail, menjadi pihak pertama yang taat pada hukum.
Sebab, dalam aturan sebelumnya, pembubaran ormas harus dilakukan setelah tiga kali peringatan dan melalui pengadilan.
"Secara substansial, Perppu tersebut mengandung sejumlah poin-poin yang bakal membawa negeri ini kepada era rezim diktator yang represif dan otoriter," kata Ismail saat menggelar konferensi pers di kantor HTI, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (12/7/2017) malam.
Menurutnya, poin-poin yang dimaksud itu adalah, pertama, dihilangkannya proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas yang dalam pasal 61 membuka pintu kesewenang-wenangan, karena pemerintah akan bertindak secara sepihak dalam menilai, menuduh dan menindak ormas, tanpa ada ruang bagi ormas itu untuk membela diri.
Kedua, lanjut dia, adalah adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat karet seperti larangan melakukan tindakan permusuhan terhadap SARA dan penyebaran paham lain yang dianggap bakal mengganggu Pancasila dan UUD 1945.
"Ini berpotensi dimaknai secara sepihak untuk menindas pihak lain," katanya.
Kemudian poin yang ketiga, adalah adanya ketentuan pemidanaan terhadap anggota dan pengurus ormas dalam pasal 82 ayat a.
"Ini menunjukkan Perppu ini menganut prinsip kejahatan asosiasi dalam mengadili pikiran dan keyakinan," ujarnya.
Berdasarkan semua hal tersebut, HTI menilai maka publik akan semakin mendapatkan bukti bahwa rezim yang berkuasa saat ini adalah rezim represif anti islam.
"Perppu yang disebut pemerintah tidak menyasar ormas Islam ngga terbukti, karena ada sekitar enam ormas juga yang akan dibubarkan," kata Ismail.