TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mewanti-wanti bahaya gerakan anti-pancasila dan radikalisme yang juga merebak di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Hal tersebut disampaikan Khofifah saat silaturahmi dan halal bihalal di Yayasan Taman Pendidikan Sosial NU Khadijah, Kota Surabaya, Sabtu (15/7/2017).
Sejumlah survei, kata Khofifah, memaparkan hasil yang cukup mencengangkan.
Antara lain dari Saiful Mujani yang menyebutkan benih radikalisme di kalangan remaja Indonesia dalam tahap mengkhawatirkan.
Sebanyak 6,12 persen menyatakan setuju, pengeboman yang dilakukan Amrozi Cs merupakan perintah agama.
Ada 40,82 responden menjawab "bersedia", dan 8,16 persen responden menjawab "sangat bersedia" melakukan penyerangan terhadap orang atau kelompok yang dianggap menghina Islam.
"Umumnya pelajar yang dimaksud siswa SMA dan mahasiwa atau di kalangan perguruan tinggi. Bahaya kalau ini terus dibiarkan," imbuhnya.
Sementara dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) disebutkan ada 9,2 persen responden yang setuju NKRI diganti menjadi negara khilafah atau negara Islam.
Adapun dalam survei Wahid Foundation, lanjut Khofifah, sebanyak 7,7 persen responden bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan dan sebanyak 0,4 persen justru pernah melakukan tindakan radikal.
Khofifah mengatakan, angka yang disebutkan tersebut mungkin terbilang kecil. Namun demikian, tetap merupakan suatu ancaman.
Karena bukan tidak mungkin jumlahnya semakin besar dan menganggu stabilitas keamanan dan politik bangsa.
Khofifah khawatir, lantaran yang disasar adalah pelajar dan remaja yang masih dalam tahap perkembangan, maka bisa jadi benih-benih radikalisme yang tertanam menjadi bom waktu di masa mendatang.
Diterangkan, penyebaran radikalisme telah menyasar kaum pelajar. Paham tersebut disebarkan antara lain oleh guru atau pengajar yang berafiliasi atau bersimpati terhadap organisasi yang berkeinginan mengganti Pancasila dengan ideologi transnasional.
Arahnya adalah doktrinisasi anak-anak untuk mendukung khilafah.
"Pergerakan mereka tidak statis. Penyebaran pengaruh juga dilakukan dengan serangkaian perekrutan anggota baru, pelatihan dan pendidikan kader yang dilakukan secara masif," imbuhnya.
Karena itu, tambah Khofifah evaluasi atau uji kompetensi terhadap pengajar pun harus diperketat. Dengan begitu, deteksi terhadap pengajar yang berpaham radikal tidak terjadi belakangan, melainkan sejak awal.
Khofifiah menuturkan, selain karena pengaruh pengajar, radikalisme juga terjadi akibat derasnya arus informasi yang beredar di media sosial dan intermet. Lantaran tidak ada filter, informasi yang beredar pun menjadii tidak terkendali.
Menurut Khofifah, perspektif kemaslahatan umum harus ditata kembali. Termasuk dalam hal berguru dan mencari ilmu.
Saat ini, tambah dia, mayoritas orang mencari ilmu lewat gadget. Alhasil, banyak yang menjadi sesat karena tidak mengetahui asal muasal dalil dan sumber informasi tersebut.
"Sanad-nya tidak jelas. Jadi kalau mau berguru atau mencari ilmu harus jelas siapa yang menjadi jujugan sehingga tidak salah ajar" tuturnya. (*)