TRIBUNNEWS.COM – Perppu No. 2/2017 sebagai pengganti UU Ormas masih dinilai kontroversial.
Poin krusial Perppu tersebut ialah kosong dari makna kedaruratan yang mesyaratkan terbitnya sebuah Perppu.
Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher Parasong menegaskan, bahwa Perppu jelas bertentangan dengan Pasal 22 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam pasal itu ditegaskan, Presiden berhak menetapkan Perppu dalam kegentingan yang memaksa. Perppu tersebut juga harus mendapat persetujuan DPR.
“Perppu ini saya lihat masih kosong dari makna kedaruratan. Pasal 22 mengatakan, dalam keadaan darurat itu harus ada unsurnya. Pertanyaannya, sudah sejauh mana HTI itu sudah mengancam Negara Kesatuan RI dalam suasana kedaruratan,” papar politisi PAN tersebut.
“Jangan-jangan pemerintah tidak siap mengamodasi berbagai perbedaan dalam kehidupan berbangsa, sehingga pendekatan otoriterianisme dianggap lebih cepat,”.
Ali mengkhawatirkan, bila pemerintah mengambail langkah otoriter dalam menghadapi perbedaan pandangan berbangsa dan bernegara, maka itu berarti kematian bagi demokratisasi di tanah air.
Sejauh ini, HTI yang dibubarkan pemerintah karena dinilai anti-Pancasila, tak pernah jelas parameternya.
“Pertanyaannya adakah alat ukur untuk menilai dia pancasilais atau tidak pancasilais. Dan apa alat bukti sebuah Ormas telah melakukan kejahatan terhadap negara,” ucap Ali penuh tanda tanya.