TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan pihaknya memiliki mekanisme dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam suatu kasus.
Hal ini menanggapi adanya tudingan dari Muchtar Effendi, yang menyebut mendapat ancaman dari penyidik KPK, Novel Baswedan saat diproses hukum di KPK.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha menjelaskan penetapan seseorang sebagai tersangka dalam sebuah kasus tak didasarkan pada dendam pribadi.
"Penetapan tersangka itu tidak didasari dendam atau ancaman tapi hasil ekspose banyak orang seperti penyidik, JPU, pimpinan," katanya, Rabu (26/7/2017).
Diketahui Muchtar Effendi merupakan terpidana kasus pemberian menghalangi penyidikan terkait perkara suap sengketa Pilkada yang membelit mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Atas kasus itu, Muchtar Effendi divonis penjara lima tahun, dan kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, bersama Akil yang dihukum seumur hidup.
Selasa (25/7/2017) kemarin atas izin dari Menteri Hukum dan HAM,Yasonna H Laoly, Muchtar Effendi hadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus Angket KPK di DPR.
Di kesempatan itu, Muchtar Effendi mengaku diancam dan didzalimi oleh Novel Cs dalam kasus dugaan menghalangi penyidikan kasus korupsi sengketa Pilkada Empat Lawang dan Kota Palembang.
Priharsa menegaskan setelah dilakukan ekspose dan ada bukti permulaan yang cukup dalam kasus suap sengketa dua Pilkada itu, akhirnya KPK menaikkan status Muchtar Effendi sebagai tersangka.
Kini Muchtar kembali menyandang status tersangka dari KPK atas dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada di Kabupaten Empat Lawang dan Kota Palembang di MK.
Muchtar diduga bersama-sama Akil Mochtar menerima hadiah atau janji. Pemberian itu diduga untuk memengaruhi hasil putusan sengketa Pilkada yang diadili oleh Akil.