TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panitia Khusus Hak Angket KPK segera mengunjungi tempat yang disinyalir dipergunakan sebagai rumah sekap milik komisi anti rasuah itu. Di tempat itu diduga untuk memeriksa saksi terkait kasus tertentu.
Penyebutan nama rumah sekap diungkap oleh Niko Panji Tirtayasa alias Miko, saksi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, terkait kasus suap.
Ini diungkap saat Miko memberikan keterangan di bawah sumpah di depan Pansus Hak Angket KPK.
Berdasarkan keterangan Miko di gedung DPR RI pada Selasa (25/7/2017) lalu, setidaknya ada tiga tempat yang digunakan KPK. Tempat tersebut, yaitu Boulevard Raya-Kelapa Gading, Depok-Jawa Barat, dan salah satu hotel di DKI Jakarta.
Untuk itu, pihak Panitia Khusus Hak Angket KPK merasa perlu memastikan keberadaan rumah sekap itu, sebab, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menuding pansus tak bisa membedakan istilah safe house dan rumah sekap.
"Pansus akan menjadwalkan segera dalam waktu dekat," tutur politisi Partai Golkar, Muhammad Misbakhun yang juga anggota Pansus Hak Angket KPK, kepada wartawan, Minggu (6/8/2017).
Di depan Pansus Angket KPK, Miko mengaku disekap di sebuah rumah oleh penyidik. Selain itu, Miko menyebut rumah sekap itu untuk mengondisikan saksi supaya menuruti keinginan penyidik KPK.
"Sehingga, miko mengakui dipaksa bersaksi palsu dengan iming-iming uang, liburan mewah menggunakan private jet dan pembagian harta sitaan milik Muchtar Effendi. Pengkondisian Niko sebagai saksi palsu adalah di rumah sekap tersebut," kata dia.
Untuk perlindungan saksi ada mekanisme Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dia meminta, alasan mengapa Miko sebagai saksi dalam hal perlindungannya tidak diserahkan oleh KPK ke LPSK.
Selain itu, di audit keuangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang masuk ke Panitia Khusus Hak Angket KPK, menurut dia, tidak ada biaya terkait safe house dan tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk sewa safe house itu.
Bendaharawan KPK untuk menyewa safe house harus memungut PPN atas sewa gedung dan memotong PPh Pasal 23 untuk sewa.
"Sampai saat ini, apa yang disampaikan oleh Juru Bicara KPK, Febri Diansyah terkait rumah sekap atau safe house tidak tergambarkan sebagai sebuah proses yang transparan dan akuntabel secara keuangan dan dari sisi kewajiban perpajakan dari KPK," ujarnya.
Atas tudingan itu, KPK melalui juru bicara Febri Diansyah, memandang itu suatu kekeliruan. Menurut dia, saat ini banyak cara yang dilakukan untuk melemahkan komisi anti rasuah tersebut.
"Tudingan itu keliru," kata Febri.
Meskipun mendapat serangan dan tuduhan tidak mendasar, dia menjamin, KPK tidak akan ciut menangani kasus korupsi.
"Hal itu tidak akan membuat KPK berhenti menangani kasus besar, seperti e-KTP dan BLBI yang ditangani. Nanti masyarakat akan menilai," tegasnya.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, memandang Pansus Hak Angket KPK memalukan karena tidak dapat membedakan antara safe house dengan rumah penyekapan.
"Memalukan, tidak bisa membedakan safe house dengan rumah penyekapan. Safe house itu justru dipergunakan KPK untuk melindungi saksi dari intimidasi tersangka atau pihak-pihak yang berpotensi menjadi tersangka agar para saksi dilindungi," tambahnya. (gle)