Laporan wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Terdakwa Atase Imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur 2013-2016, Dwi Widodo ternyata pernah digerebek tim Suruhan Jaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SRPM) atau Malaysia Anti Corruption Comission (MACC).
Penggerebekan tersebut terjadi di Restoran Mak Mah di Port Dickson, Negeri Sembilan, Malaysia pada 21 Mei 2016.
Penggerebekan tersebut dilakukan ketika Dwi Widodo bersama pegawai melaksanakan reach out pelayanan paspor kepada para TKI.
Reach out adalah metode pelayanan pengurusan paspor kepada TKI yang berada di Malaysia karena paspornya hilang, rusak, atau tidak memiliki paspor yang dilakukan di luar KBRI Kuala Lumpur.
Baca: Ketika Bos First Travel Mengaku Lupa Uang Miliaran Rupiah Milik Jemaah Mengalir Kemana
"Penggerebekan tersebut dalam rangka parallel investigation bersama Komisi Pembarantasan Korupsi RI sehingga pelaksanaan reach out dihentikan," demikian bunyi petikan dakwaan Dwi Widodo sebagaimana dikutip dari dakwaan, Jakarta, Rabu (16/8/2017).
Setelah peristiwa penggerebekan tersebut, Dwi Widodo kemudian meminta Satya Rajasa Pane untuk mengurus pengamanan kasusnya di SRPM atau KPK Malaysia.
Karena Dwi Widodo tidak ditangkap dan tidak ada barang bukti uang, dia masih memproses paspor para pemohon yang telah terdata sebanyak 158 orang hingga paspor tersebut terbit.
Baca: Disebut Ganteng Kenakan Pakaian Adat Bugis, Ternyata Segini Harga Kopiah di Kepala Jokowi ?
Untuk mengurus paspor para TKI tersebut, Dwi Widodo menyiasatinya menggunakan syarikat atau perusahaan Malaysia untuk pelaksanannya.
Satya Rajasa Pane dengan bantuan Darwinsyah bin Sultan Syahbuddin meminjam dan menggunakan perusahaan Malaysia milik Mohd Rizal Bin Mohd Yusof bernama Euro Jasmine Resource, Sdn. Bhd.
Syarikat atau perusahaan tersebut merupakan perusahaan pemohon pelaksanaan reach out yang dipergunakan sebagai upaya menutupi proses percaloan seolah-oleh perusahaan tersebut bertindak sebagai syarikat yang mempekerjakan para TKI.
Dwi Widodo meminta uang imbalan atau fee pengurusan paspor sebesar RM250 per paspor di luar biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Sekadar informasi, Dwi Widodo didakwa menerima hadiah Rp 524.350.000, voucher hotel senilai Rp 10.807.102 dan RM 63.500 (Ringgit Malaysia).
Suap tersebut diberikan sebagai imbalan atau fee pengurusan 'calling visa' di KBRI Kuala Lumpur yang berasal dari negara-negara rawan dan fee dari pembuatan paspor metode 'reach out' untuk para TKI di Malaysia.
Atas perbuatannya, Dwi Widodo didakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 65 ayat 1 KUHPidana.