TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keberadaan tenaga pendamping desa mendapat kritikan baik dari segi kuantitas dan kualitas.
Dari segi kualitas, tenaga pendamping selama ini lebih banyak bertugas sebagai pengumpul desa dibandingkan memberikan pendampingan terkait mengelola tata keuangan desa.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan banyak kepala desa berkeluh kesah karena kualifikasi tenaga pendamping tidak seperti yang mereka butuhkan.
"Lebih banyak mereka bekerja sebagai pengumpul data. Atau kalau dia terlibat soal dana desa, para pendamping ini hanya fokus membawa uang dari kabupaten ke desa atau upaya bagaimana ditransfer. Tapi kemudian uang dikelola seperti apa itu sudah tidak lagi ranah perhatian para pendamping," kata Robert Endi Jaweng saat diskusi bertajuk 'Dana Desa Untuk Siapa', di Cikini, Jakarta, Sabtu (19/8/2017).
Baca: Anggota DPR Ingatkan Pemerintah, Sukses Dana Desa Lebih Banyak di Pulau Jawa
Robert sangat menyesalkan kinerja para tenaga pendamping tersebut mengingat pendampingan masalah keuangan tersebut yang sangat penting.
Aparat desa harus mengerti betul bagaimana mengenai tata kelola keuangan yang akuntabel.
Dari segi kuantitas keberadaan tenaga pendamping juga masih kurang. Idealnya satu tenaga pendamping itu untuk satu desa tetapi pada kenyatannya satu tenaga pendamping untuk melayani dua hingga tiga desa.
"Itu suatu jumlah yang jauh dari memadai," kata dia.
Sekadar informasi, tenaga pendamping desa yang tersebar di seluruh Indonesia berkisar 34.000-an data tahun 2016.
Dari jumlah tersebut, 12.000 di antaranya adalahtenaga ahli yang berada pada level kabupaten, 6.000 tenaga ahli berada pada level kecamatan sementara sisanya 17.000 tenaga ahli merupakan pendamping lokal yang bekerja di level desa.