Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) mencabut 14 pasal aturan taksi online dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017.
Terkait keputusan tersebut, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai, Kementerian Perhubungan harus segera membuat peraturan yang baru.
"Untuk itu Kemenhub harus benar-benar memanfaatkan waktu tiga bulan ke depan. Tadinya kan sudah diatur. Sekarang tidak ada peraturannya lagi," kata Agus kepada wartawan di Jakarta, Jumat (25/8/2017).
Masalahnya, menurut Agus, taksi online itu mengangkut manusia, karena itu diperlukan peraturan untuk melindunginya.
Baca: Berkeliaran Bebas di Jalanan, Mobil Sport Sitaan KPK Ditilang Polisi
"Kalau tidak ada peraturannya, kemana kita mesti mengadu kalau timbul masalah, karena ini menyangkut keselamatan manusia," katanya.
"Sebagai kendaraan yang mengangkut manusia harus ada jaminan keamanan, karenanya ada pengujian kir. Juga harus ada standar layanan untuk konsumen yang mesti dijaga. Kalau sekarang kan banyak taksi online kotor, tidak pakai seragam, bau rokok," kata Agus.
Lebih lanjut Agus meminta pemerintah tegas terhadap beroperasinya taksi online.
Baca: MA Kabulkan Gugatan Permenhub, Pemerintah Dorong Sinergi Transportasi Online dan Konvensional
Ia memberi contoh negara Denmark yang tidak mengizinkan taksi online karena operator taksi online tidak mau mengikuti aturan yang ditetapkan negara tersebut.
Ditekankan Agus, taksi online juga harus bayar pajak yang selama ini tidak mereka lakukan karena belum ada aturan untuk itu.
"Kita ini negara, dan sebuah negara harus ada aturan. Kalau tidak ada aturan ya sudah di hutan saja sana," kata Agus lagi.
Sementara itu, Sekjen DPP Organda Ateng Aryono menyatakan seharusnya majelis hakim MA yang membatalkan Permenhub tentang taksi online ini seharusnya mencari pandangan yang luas dari pihak-pihak yang terkait dalam masalah ini, seperti Organda, pengusaha angkutan dan para pakar angkutan.
"Saya juga heran sama yang menggugat. Dengan adanya Permenhub itu, artinya mereka sudah memiliki kepastian yang selama ini mereka inginkan. Ini aneh, sudah ada peraturan eh mereka gugat. Kecuali mereka memang menginginkan yang tidak pasti ya," kata Ateng.
Baca: Tim Pengawas Haji DPR Temukan Praktik Rentenir Penukaran Rupiah ke Riyal
Sementara soal keterlibatan konsumen dalam hal pengambilan keputusan, misalnya dalam masalah tarif atas dan tarif bawah taksi online, Ateng menjawab semestinya hal itu tidak ada masalah.
Karena sebelumnya Kemenhub sudah cukup intensif mensosialisasikan peraturan baru tersebut kepada berbagai pihak temasuk sosialisasi ke daerah-daerah.
Selain itu, juga ada uji publik.
Tarif batas atas itu, kata Ateng, diberlakukan untuk melindungi konsumen atau pengguna supaya operator taksi online tidak semena-mena mengenakan tarif atasnya.
"Kami dari Organda prihatin, kalau ini dibiarkan tanpa aturan kemudian taksi yang resmi sampai bubar, mau dikemanakan para sopir dan tenaga kerja yang banyak itu," kata Ateng.
Ateng juga berharap pemerintah benar-benar bisa mencari jalan keluar terbaik atas masalah ini, sebab kalau dibiarkan tanpa ada aturan yang jelas dikhawatirkan akan terjadi kekacauan di lapangan.
Menteri Perhubungan Budi Karya sebelumnya meminta masyarakat tidak resah dengan keputusan MA, karena pihaknya segera akan mencari solusi untuk merumuskan kembali peraturan tentang taksi online ini.
Untuk itu Kemenhub akan mengumpulkan para ahli dan berbagai pemangku kepentingan yang terkait dengan beroperasinya taksi online ini.