Aku bersabar berjuang dengan waktu. Namanya pacaran tapi kurang asyik seperti teman teman saya lainnya.
Ke mana-mana kau dikawal oleh adik-adikmu kayak Paspampres saja.
Walaupun aku punya vespa tapi kamu enggak pernah mau dibonceng.
Selama tujuh tahun kita hanya sekali nonton bioskop. Itu pun dengan teman-temanmu. Sehingga untuk bisa memegang tanganmu saja, sangat sulit.
Tapi kutahu hal yang sulit biasanya berakhir manis. Akar budaya kita memang berbeda, antara Bugis dan Minang.
Orangtuamu terkadang khawatir karena engkau anak perempuan satu-satunya. Adiknya laki-laki semua.
Orangtuaku pula sering salah mengerti adat Minang. Kenapa perempuan lebih banyak menentukan. Perbedaan yang nyaris menduakan kita.
Kalau ke rumahmu harus siap untuk sabar. Mendengar petuah bapakmu dengan suara yang pelan, seperti guru menasehati muridnya.
Karena memang bapak dan ibumu juga guru.
Aku ingin menemuimu tapi bapakmu menyembunyikanmu. Kau baru dipanggil keluar kalau saya permisi pulang.
Sebenarnya itu termasuk perilaku yang kejam.
Datang ke rumahmu sore hari sebelum magrib, begitu magrib aku berdiri dan adzan dengan fasih.
Keluar salat berjamaah yang diimami oleh bapakmu. Ini juga penting dengan bapakmu aku juga lagi shalat.
Setelah tamat SMA kau bekerja di BNI. (Lalu) kuliah sore.