Sampai kuliah aku juga bekerja di kantor bapakku, agar bisa sering terbang, sekali seminggu aku minta menjadi asisten dosen dan mengajar di kelasmu tanpa honor.
Semua itu agar bisa bertemu denganmu, dan melihat senyummu.
Keras sekali perjuanganku tapi demi menatapmu. Akhirnya kau luluh juga.
Ayahku akhirnya memahami perbedaan adat kita, selain ibuku dan sahabatnnya memberi nasihat.
Mungkin juga setelah membaca buku Hamka, tenggelamnya kapal Van der Wijk.
Semua itu karena untuk melihat senyummu.
Saat orangtuaku melamarmu untuk jadi istriku, aku melihat cakrawala tersenyum perjuangan cinta bertahun-tahun yang berbuah manis.
Setelah kita menikah, aku menjalankan perusahaan ayahku. Kau sekretaris, merangkap keuangan karena kita belum bisa, memegang pegawai tambahan.
Di samping mengasuh anak dan mengurus rumah dengan baik.
Anak-anak kita kau asuh sendiri tanpa suster-suster seperti cucu kita sekarang.
Selama 50 tahun kau chef terbaik yang kukenal karenanya kita jarang makan di restoran.
Di kantor pun setiap hari kau kirim makanan. Teman-teman selalu menunggu apa yang akan kau hidangkan.
Kau tahu cintamu terus mengitariku karena hidangan yang kau buat. 50 tahun kita jalani, 33 tahun di Makassar dan 17 tahun di Jakarta.
Sungguh suatu perjalanan yang panjang.