TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Pengadilan Negeri Bengkulu, Kaswanto terkena imbas diberhentikan sementara oleh Mahkamah Agung.
Ketua Tim Pengawasan Mahkamah Agung, Sunarto menegaskan sudah menandatangani surat penonaktifan tersebut sesaat setelah KPK membenarkan adanya proses operasi tangkap tangan.
“Sudah kami tanda tangani surat pemberhentian sementaranya,” kata dia dengan suara meninggi saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (7/9)
Dijelaskan oleh Sunarto, hal itu sudah sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No 7 dan No 8 Tahun 2016 yang mengatur mengenai tanggung jawab ketua pengadilan negeri. Dari hal itu, kata dia, MA merasa perlu melakukan penonaktifan tersebut.
Bukan hanya Ketua Pengadilan Negeri Bengkulu, Kaswanto, Mahkamah Agung juga melakukan penonaktifan sementara ketua panitera pengganti Pengadilan Negeri Bengkulu. Keduanya, akan dilakukan pemeriksaan lanjutan dari pengawasan Mahkamah terkait dengan pembinaan dan pengawasan kepada anak buahnya.
“Tim pengawas sudah berada di sana sampai besok akan melakukan pemeriksaan kepada ketua pengadilan dan panitera sebagai atasan langsung mereka yang sudah tertangkap KPK,” jelas dia.
Keduanya, ucap Sunarto, jika sudah menjalankan tugasnya secara baik, maka, nama keduanya akan direhabilitasi. Sebaliknya, jika keduanya tidak menjalankan pembinaan dan pengawasan secara benar, maka penonaktifkan akan dipermanenkan.
“Kami akan cek semuanya. Termasuk pejabat dan notulen rapat pembinaan. Bisa atau tidak pimpinan ini menjadi contoh? Kalau tidak bisa jadi contoh, maka bawahnya pasti akan jelek. Tapi kalau atasnya bagus, bawahnya pasti bagus,” tegasnya.
“Kalau bisa dibina, kami bina, kalau tidak, kami binasakan. Tidak usah susah,” suara Sunarto semakin meninggi.
Tunggu Aman
Ketua KPK, Agus Rahardjo dalam pemaparannya mengenai operasi tangkap tangan KPK Hakim Anggota PN Bengkulu, DSU dan Panitera Pengganti, HKU mengungkapkan menemukan uang sejumlah Rp 40 juta di rumah DSU.
Angka tersebut, kata Agus, merupakan dana yang sudah dijanjikan kepada DSU dengan total Rp 125 juta untuk meringankan hukuman kasus Plt BPKAD Bengkulu, Wilson yang sudah divonis selama 1 tahun 3 bulan penjara dari perkara pidana korupsi pengelolaan anggaran rutin dan kegiatan fiktif di BPKAD dan merugikan negara sebesar RP 590 juta.
“Komitmen fee supaya hukumannya diringankan oleh pengadilan,”ucap Agus.
Selain Rp 40 juta dari rumah DSU yang sudah dibungkus dengan kertas dan plastik kresek, tim KPK juga menemukan uang Rp 75 juta dari rumah DHN yang merupakan mantan panitera pengganti PN Bengkulu untuk sisa pelunasan dari total perjanjian tersebut.
Peran DHN, kata Agus sebagai orang yang mendekati hakim DSU dan Panitera Pengganti HKU dari pihak keluarga terpidana Wilson. “Uang sisanya Rp 75 juta. Kami ambil dari rumah DHN,” tutur Agus.
Pada Kamis (7/9) siang, KPK juga menangkap SI yang diduga merupakan pihak pemberi suap kepada DSU di Hotel Santika Bogor. SI, kata Agus, merupakan saudara dari Wilson yang diduga telah menjanjikan komitmen fee tersebut.
Sementara itu, Komisioner KPK lainnya, Basaria Pandjaitan menjelaskan setelah penetapan hukuman dari DSU kepada Wilson, yakni pada 14 Agustus 2017 lalu, pencairan dana tidak langsung dilakukan karena menunggu situasi dan kondisi.
“Tunggu aman situasinya, jadi tidak langsung diberikan,” kata dia.
Pencairan dana dilakukan oleh S yang merupakan PNS di Bengkulu dengan membuka rekening BTN atas nama dirinya sendiri dengan total tabungan sebanyak Rp 150 juta sebelum pembacaan putusan dan baru dicairkan pada 5 September 2017 sebanyak Rp 125 juta.
“Masih ada sisa Rp 10 juta. Ini yang sedang kami cari,” tukasnya.
Dari kasus tersebut, KPK kemudian menetapkan DSU, HKU dan SI sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi, serta masih terus memeriksa S, DHN dan DEN atas dugaan keterlibatan mereka dalam kasus itu.
Kritik Pengawasan MA
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu, S yang ditangkap tangan oleh lembaga antirasuah itu, tidak lepas dari peran serta Mahkamah Agung. Juru Bicara KPK, Febridiansyah mengatakan bahwa salah satu pihak yang memberikan informasi adanya perbuatan tindak pidana korupsi di lembaga pengadilan itu adalah Mahkamah Agung.
“Laporan dari masyarakat dan informasi dari MA juga,” jelas dia di Gedung KPK.
Namun begitu, hal tersebut jelas Juru Bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, tetap menjadi kritik atas tindakan pengawasan dari MA.
Terlebih, dalam waktu yang belum lama, KPK juga telah menangkap panitera pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta selatan. Sedangkan pada data 2016, sudah 28 aparat pengadilan baik hakim dan panitera tertangkap dalam operasi tangkap tangan.
“Ini sudah bukan oknum lagi. Tapi ada sistem pembinaan di MA yang tidak berjalan,” kata dia melalui keterangan, Kamis (7/9)
Farid, secara tegas menjelaskan Mahkamah Agung telah membuktikan bahwa pengawasan terhadap sekitar 7.600 hakim serta 22 ribu aparat pengadilan dan 840 pengadilan tidak berjalan dengan baik. KY berharap pimpinan MA dapat segera melakukan bersih-bersih dan pembenahan internal.
“MA harus mampu meyakinkan dirinya dan publik bahwa perbuatan merendahkan profesi dan lembaga peradilan adalah perbuatan tercela dan biang pengkhianatan yang harus dicari jalan keluarnya,” tegas dia.