TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman Noor Aziz Said berpendapat tidak ada paksaan terhadap terdakwa anggota DPR RI Miryam S Haryani saat diperiksa di tahap penyidikan pengadaan dugaan korupsi e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
Noor berpendapat demikian karena Miryam usai dimintai keterangannya membaca kembali hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Setelah baca, Miryam kemudian membubuhkan tanda tangannya.
"Penyidik menyerakan itu dibaca kembali sebelum ditandatangani. Bahkan ditanya apa ada yang keliru atau ditambahkan sebelum tanda tangan. Malah itu bukan daya paksa. Diberikan waktu untuk membaca kembali. Kalau memang seperti itu enggak ada paksa," kata Noor saat diperiksa sebagai ahli di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (11/9/2017).
Noor mengatakan sesuai aturan, Pasal 48 KUHP memuat pengertian daya pasak (overmacht) adalah adanya paksaan untuk melakukan sesuatu sehingga orang yang disuruh itu berbuat tidak sesaui dengan kehendak bebas, namun mengikuti orang yang memaksa.
Menurut Noor, mengacu kepada keterangan penyidik KPK, maka tidak ada paksaan terhadap Miryam S Haryani.
Noor menyimpulkannya terhadap tiga kali pemeriksaan Miryam di KPK.
"Menurut pendapat saya apabila megacu penyidik malah enggak ada daya paksa, absolut, relatif, maupun biasa," kata dia.
Baca: Pengungsi Rohingya Kekurangan Makanan, Minuman, dan Air Bersih
Miryam adalah terdakwa memberikan keterangan tidak benar di persidangan kasus dugaan korupsi e-KTP untuk terdakwa Irman dan Sugiharto.
Miryam mengaku memberikan keterangan sesuai arahan penyidik KPK karena mengaku takut karena diancam.
Miryam didakwa Pasal 22 jo Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.