TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR Robert Joppy Kardinal, mengaku tidak tahu ada surat permintaan penghentian pemeriksaan Setya Novanto yang ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari pimpinan DPR.
"Itu urusan Setjen, silakan saja. Saya nggak mau campur-campur. Masak hukum kita intervensi campur-campur. Fraksi nggak tahu," kata Robert kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/9/2017).
Bendaraha Umum DPP Partai Golkar ini juga mengaku tidak berkoordinasi terkait surat yang diantar oleh Kepala Biro Pimpinan Sekretariat Jenderal DPR RI Hani Tahapsari, ke kantor KPK, Selasa (22/9/2017) kemarin malam.
Diberitakan sebelumnya, Hani Tahapsari, menyampaikan surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (22/9/2017) kemarin malam.
"Ada surat dari pimpinan DPR yang poin pentingnya sebagai bahan pertimbangan lainnya KPK agar menghormati proses praperadilan yang diajukan," ujar Hani di Gedung KPK Jakarta.
Dalam surat tersebut, pimpinan DPR menilai praperadilan adalah hal yang lumrah dalam proses penegakan hukum.
Pimpinan DPR meminta KPK mengedepankan azas praduga tak bersalah dan menghormati proses hukum praperadilan yang sedang berlangsung.
"Saudara Setya Novanto memohon kepada pimpinan DPR untuk menyampaikan surat kepada KPK tentang langkah praperadilan tersebut, dengan penundaan pemeriksaan dan pemanggilan saudara Setya Novanto," kata Hani Tahapsari.
Baca: Tuai Kecaman Krisis Rohingya, Aung San Suu Kyi Batal Hadiri Sidang PBB
Sidang perdana praperadilan Setya Novanto digelar Selasa pagi, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun, sidang ditunda karena pihak KPK selaku tergugat berhalangan dan meminta penjadwalan ulang.
Saat dikonfirmasi, Juru Bicara KPK Febri Diansyah belum mengetahui perihal surat tersebut.
Novanto sebelumnya tak memenuhi panggilan pemeriksaan di KPK pada Senin kemarin. Alasannya, sakit.
KPK menduga Novanto ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Selain itu, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP sewaktu menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR.
Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.