News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Buka 'Rahasia Dapur', Ketua KPK Bebeberkan Mekanisme Penyadapan ke Anggota DPR

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, menjelaskan prosedur penyadapan yang dilakukan penyidik dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Selasa (12/9/2017) kemarin.

Menurutnya, KPK tidak sembarangan melakukan penyadapan. Ada mekanisme di internal yang mengatur proses penyadapan itu.

Apalagi, putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut mekanisme penyadapan harus diatur payung hukum setingkat undang-undang.

‎Agus menerangkan, ‎penyadapan di KPK dilakukan atas usul Direktorat Penyelidikan KPK setelah melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket).

Baca: Hari Ini Vonis untuk Terdakwa Mantan Anak Buah Nazaruddin

Selanjutnya, eksekutor penyadapan dilakukan di bawah kendali Deputi Informasi dan Data (Inda) KPK.

Sebelum eksekutor melakukan penyadapan, usulan Direktorat Penyelidikan KPK memberikan laporan kepada pimpinan. Setelah lima pimpinan setuju dan menandatangani surat perintah penyadapan (sprindap), operasi tersebut baru bisa dilakukan.

"Yang menyadap bukan Direktorat Penyelidikan, tetapi Direktorat Monitoring di bawah Deputi Informasi dan Data (Inda) KPK," kata Agus.

Baca: Sindir Setya Novanto, KPK: Tak Ada Dasar Hukum yang Bisa Hentikan Penyidikan karena Praperadilan

Menurutnya, penyadapan itu juga diawasi oleh Direktorat Pengawasan Internal (PI) di bawah Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK.

"Jadi, Direktorat PI yang selalu memeriksa lockbox penyadapan tadi," kata Agus.

Menambahkan penjelasan Agus, Deputi Bidang Inda KPK Hary Budiarto menjelaskan lebih detil cara KPK melakukan penyadapan.

Penyadapan melibatkan tiga kedeputian di KPK, yakni, Deputi Penindakan, Deputi Inda dan Deputi PIPM.

Deputi Penindakan bertindak sebagai user dan akan mengirimkan nomor target yang akan disadap. Lalu, Deputi Inda melakukan penyadapan. Sementara, Deputi PIPM melakukan audit dari seluruh rangkaian kegiatan penyadapan.

Hary menjelaskan, meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan tidak berwenang mengaudit penyadapan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bukan berarti kegiatan itu tidak diawasi.

"Kami diaudit (oleh PIPM), setiap tiga bulan sekali," kata Hary.

Sementara soal teknis, Hary mengatakan, nomor target yang disadap juga tentu tidak sembarangan dan harus terkait dengan kasus hukum tengah ditangani KPK.

Pasalnya, mesin juga punya keterbatasan dimana nomor hanya bisa berada di dalam mesin selama 30 hari.

Jika lebih dari waktu tersebut, mesin akan mengganti nomor lain.

"Nomor yang disadap itu untuk 30 hari. Ketika 30 hari terlampaui maka mesin akan cancel dan nomor lain masuk. Jadi, seperti antrean," katanya.

Setelah penyadapan akan dibuat rangkuman. Tidak semua kata dari mesin sadapan diterjemahkan. Pasalnya, ada beberapa hal yang tidak dimasukkan karena dianggap sebagai privasi pihak yang disadap.

Lebih lanjut, Hary menjelaskan soal surat izin penyadapan. Dia menyebut surat penyadapan hanya berlaku 30 hari pertama. Jika selama 30 hari pertama tidak ada hasil, untuk melakukan penyadapan berikutnya dengan nomor yang sama harus mendapatkan surat perintah yang ditandatangani lima komisioner.

"Jika tidak ada surat perintah penyadapan lagi, akan kami hentikan. Kalau mau diulang, harus diterbitkan sprindap baru," katanya.

Menanggapi hal ini, Ketua Komisi III Bambang Soesatyo menilai, jika mekanisme itu telah berjalan dengan baik, maka semua pihak jadi lebih paham.

"Benar tidak? Kalau ini berjalan benar, tenang kita," kata Bambang.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini