News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Bolehkah Anak-anak Nonton Film G 30 S/PKI? Ini Kata Kak Seto

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Ramainya pemberitaan soal pemutaran film Pengkhianatan G 30 S/PKI, turut menarik perhatian Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi.

Menurut pria yang akrab disapa Kak Seto itu, boleh tidaknya anak menonton film tergantung pada kesiapan pendidik.

"Tak mudah kiranya untuk pukul rata melarang ataupun mengizinkan anak menonton film tersebut. Sebab, anak adalah individu berusia nol hingga sebelum 18 tahun, individu berumur 4 sampai 17 tahun," ujarnya dalam siaran tertulis, Selasa (19/9/2017).

"Walau sama-sama berusia anak, punya dinamika psikologis yang berbeda jauh satu sama lain. Kesiapan mereka untuk menonton suatu film pun berbeda satu dan lainnya," sambung Seto.

Baca: Ustaz Solmed Angkat Bicara soal Nonton Bareng Film G30S/PKI

Terlebih, lanjutnya, film berjudul Pengkhianatan G 30 S/PKI itu berangkat dari kisah nyata tentang peristiwa sejarah yang memang seharusnya diketahui generasi muda, terlepas dari sejumlah adegan kekerasan yang ditampilkan dalam film.

"Proses pembelajaran yang baik adalah yang memberikan rangsangan multi-indrawi kepada anak. Pemanfaatan film sebagai kelengkapan kegiatan belajar, termasuk belajar sejarah, sesungguhnya sudah menjadi praktek jamak. Dan itu bagus!" tuturnya.

Namun, tambahnya, pembelajaran sejarah terkait G 30 S/PKI seharusnya tidak melulu ditekankan pada media film, tetapi dapat memanfaatkan teks atau bacaan yang setara dengan narasi film. Apalagi, dalam riset, diketahui bahwa pendekatan yang paling pas adalah menggunakan teks.

"Teks bisa dimodifikasi menjadi narasi lisan yang sebobot. Teks, pemutaran film, dilanjutkan dengan ajakan pendidik kepada anak untuk mengekspresikan apa yang mereka pikirkan dan, ini acap terkesampingkan, apa yang mereka rasakan," paparnya.

Serbaneka perasaan yang dialami anak saat menonton film, kata Seto, dijadikan sebagai pintu masuk bagi pendidik untuk mengedukasi anak tentang bagaimana mengidentifikasi kaitan antara situasi, perasaan, dan cara mengelolanya.

Bersamaan, anak diajak untuk menyimpulkan nilai kesetiaan pada bangsa dan negara, keyakinan pada kebenaran dan keadilan, penyerahan diri pada pertolongan Tuhan, penghormatan akan jasa pahlawan, serta optimisme akan masa depan.

"Akhiri dengan menggali ide anak tentang bagaimana mencegah terulangnya tragedi serupa. Begitu urutannya. Ingat, kearifan adalah produk dari kekuatan kognitif dan kepekaan afektif," ulasnya.

"Memang, membawa kejadian dan situasi masa silam ke masa kini boleh jadi bukan hal gampang. Pendidik, utamanya guru maupun orangtua, kudu memiliki wawasan juga, agar bisa mendampingi anak meniti lintasan sejarah dengan tepat," papar Kak Seto.

Sebab, menurutnya, film yang bagus di tangan pendidik yang buruk, tidak akan memiliki manfaat. Sebaliknya, film yang buruk di tangan pendidik yang baik, memiliki manfaat berlipat ganda bagi anak.

"Nah, dari situ kita bisa katakan, apakah anak menonton atau pun tidak menonton film Pengkhianatan G 30 S, lebih ditentukan oleh kesiapan pendidik dalam mendampingi anak. Kalau pendidik merasa gamang, ikuti suara hati. Tinggalkan, itu dalil hakiki," tegasnya.

Terlepas dari permasalahan tersebut, Kak Seto justru mengajak para pendidik untuk membawa anak didiknya berkaryawisata ke sejumlah museum, seperti Museum Jenderal Nasution, Museum Jenderal Ahmad Yani, dan Monumen Kesaktian Pancasila. Tujuannya, agar mereka bisa berimajinasi merangkai sejarah tentang masa kelam PKI (*)

Penulis: Dwi Rizki

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini