TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setiap akhir September tema PKI selalu menghangat.
Hal tersebut dipicu adanya pihak yang meyakini indikasi kuat bangkitnya PKI.
Di lain pihak, ada pihak yang berpandangan bahwa ideologi komunisme adalah ideologi bangkrut, ideologi gagal.
Karena ideologi tersebut dianggap tidak mampu menjawab persoalan kemanusiaan.
PKI akan sulit bangkit lagi, apalagi berkembang.
Baca: Berbekal Jagung Rebus, Neneng Antusias Ajak Anaknya Nonton Bareng Film G30S/PKI
Ideologi komunis hanya akan bertumbuh dan berkembang pada masyarakat miskin dan terbelakang.
Pro kontra juga terjadi soal pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI.
Kelompok yang pro pemutaran film tersebut berargumen bahwa, itu fakta sejarah yang harus diketahui anak bangsanya.
Gunanya agar tidak terulang lagi kejahatan kemanusiaan itu.
Baca: Pengamat Beberkan Dugaan Alasan Jokowi Tidak Larang Pemutaran Film G30S/PKI
Sedang bagi yang kontra menganggap ada yang tidak akurat dengan film itu.
Bahkan, sudah muncul pembelaan diri bahwa, PKI tidak salah.
PKI harus dipulihkan nama baiknya.
Presiden Joko Widodo sendiri setuju akan pemutaran film itu.
Hanya Presiden Jokowi mengusulkan agar film G30S/PKI yang dibuat pada tahun 1984, diproduksi ulang dengan gaya milenial agar mudah diterima generasi muda.
Baca: Pengamat: PKI Tidak Hanya Ciderai Tentara, Tetapi Juga Umat Islam
Namun tokoh reformasi, Amien Rais menolak ide pembuatan film baru PKI.
Amien khawatir ada sejarah yang tidak sesuai dalam film.
Padahal, film yang disutradarai Arifin C Noer itu, bagi Amien sudah sesuai dengan sejarah yang terjadi, tepatnya saat peristiwa pembunuhan terhadap jenderal militer.
Menurut Amien, sejarah bangsa tidak bisa diputarbalik.
Itu sudah berdasarkan research.
Jadi Arifin C Noer sebagai sutradaranya tidak main-main.
Menyikapi hal tersebut, Komisioner Komnas HAM RI, Maneger Nasution, memberikan pandangannya dalam perspektif HAM.
Pertama, sejatinya pemutaran film itu dimaknai sebagai upaya memberi informasi kepada warga negara tentang sejarah bangsanya.
"Dalam perspektif HAM, setiap warga negara berhak untuk tahu (rights to know) tentang sejarah bangsanya sendiri, termasuk peristiwa pengkhianatan PKI terhadap ideologi negara, Pancasila," kata Maneger dalam keterangannya, Sabtu (23/9/2017).
Kedua, Panglima TNI mewakili negara yang mengambil inisiatif memerintahkan prajuritnya nonton bareng film tersebut boleh dimaknai sebagai kehadiran pemerintah memenuhi hak-hak prajurit, dalam hal ini, hak untuk tahu sejarah bangsanya (rights to know).
"Salah satu medianya adalah melalui film tersebut," katanya.
Ketiga, pemutaran film itu sejatinya didedikasikan, di samping untuk memenuhi hak-hak konstitusional warga negara untuk tahu sejarah bangsanya (rights to know), juga untuk mengingatkan bangsa ini supaya sejarah kelam bangsa masa lalu tidak berulang kembali.
Keempat, sekira ada pihak yang ingin memproduksi film baru, seperti Presiden Jokowi yang mengusulkan agar film G30S/PKI yang dibuat pada tahun 1984, diproduksi ulang dengan gaya milenial agar mudah diterima oleh generasi muda, itu adalah hak mereka.
"Hanya perlu dipertimbangkan bahwa hal itu sejatinya dilakukan atas kehendak bersama seluruh atau mayoritas rakyat," katanya.
Keinginan tersebut jangan sampai keluar karena dendam sejarah.
Pembuatan film harus didahului riset yang memadai oleh tim independen.
Sehingga, pengungkapan peristiwa tidak boleh merubah konten sejarah dan harus dilakukan dengan objektif serta tidak memutarbalikkan fakta sejarah.
"Juga penting dihitung bahwa keinginan itu telah memperhitungkan bahwa manfaatnya lebih besar dari kemudratan yang ditimbulkan," katanya.
Kelima, sejatinya Indonesia berbesar hati dan dengan penuh kesadaran mengakui sejarah kelam masa lalu.
"Kemudian secara kolektif menyelesaikan sejarahnya sendiri dengan cara dan jalan Indonesia sendiri," ucapnya.
Keenam, negara harus hadir menjamin bahwa peristiwa-peristiwa kelam kemanusiaan yang sama tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang (guarantees of nonrecurrence).