News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Korupsi KTP Elektronik

Cacat Hukum, Putusan Praperadilan Setya Novanto Akan Digugat

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Indonesia melakukan aksi menanggapi batalnya status tersangka Setya Novanto di area Car Free Day, Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (1/10/2017). Aksi yang bertajuk 'Indonesia Berkabung' tersebut menggugat keputusan hakim tunggal praperadilan PN Jakarta Selatan Cepi Iskandar yang membatalkan status tersangka Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP serta mendukung KPK untuk mengeluarkan sprindik baru untuk Setya Novanto. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Anti Corruption Committee (ACC), Wiwin Suwandi, menyatakan pertimbangan Hakim Tunggal Cepi Iskandar dalam putusan praperadilan Setya Novanto sebagai keputusan yang cacat hukum.

Melalui keterangan tertulis yang dikeluarkan di Jakarta, Minggu, peneliti tersebut menyatakan hakim dalam pertimbangannya menilai alat bukti penetapan Novanto sebagai tersangka diambil dari pengembangan kasus Irman dan Sugiharto.

"Pertama, hakim lupa bahwa kasus Irman dan Sugiharto serta Setya Novanto merupakan satu kesatuan perkara korupsi KTP-e sehingga memiliki benang merah atau keterkaitan satu sama lain," demikian Wiwin melalui keterangan tertulisnya.

Menurut dia, penggunaan alat bukti terkait Setya Novanto terhadap tersangka lain dalam satu perkara yang sama adalah hal yang lazim.

"Yang bermasalah adalah jika alat bukti tersebut diambil dari kasus lain yang tidak memiliki benang merah dalam kasus aquo," kata Wiwin.

Selanjutnya, katanya, penetapan tersangka dalam proses penyidikan bukanlah soal jarak waktu penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan penetapan tersangka, melainkan kecukupan alat bukti sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Ketika KPK menilai alat bukti sudah cukup dalam menaikan status Setya Novanto sebagai tersangka, berarti KPK berpegang pada alat bukti.

Oleh karena itu, tegasnya, masalah jarak waktu itu tidak menjadi persoalan karena prosedur penyelidikan dan penyidikannnya sudah dipenuhi termasuk menyampaikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Sebelumnya, hakim tunggal Cepi Iskandar yang mengadili perkara praperadilan Setya Novanto menyatakan alat bukti yang diperoleh KPK merupakan hasil penyidikan dan penyelidikan dalam perkara lain.

Baca: Aktivitas Soekarno Beberapa Jam Menjelang Penculikan 7 Jenderal oleh G30S/PKI

Baca: Wiranto Akhirnya Akui, Ada Persoalan di Impor Senjata dari Eks Blok Timur untuk Polisi

"Menimbang bahwa setelah diperiksa alat bukti yang diperoleh termohon seluruhnya hasil pengembangan dari perkara orang lain, yaitu Irman dan Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong," kata Cepi saat membacakan putusan praperadilanSetya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2017).

"Menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah diperoleh termohon dengan memeriksa sejumlah saksi, membuka dokumen, dan setelah dipelajari seluruh bukti yang diperoleh pemohon sesungguhnya bukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No.Sprin.Dik-56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017 sebelum dan sesaat pemohon ditetapkan sebagai tersangka," kata Cepi.

Artinya, kata Cepi, ketika pemohon ditetapkan sebagai tersangka, KPK belum melakukan penyidikan dalam perkara aquo, belum memeriksa calon tersangka, saksi-saksi serta alat-alat bukti.

"Karena secara logika hukum, termohon harus mempunyai waktu dan dalam waktu yang singkat Sprindik 17 Juli 2017 untuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh termohon," katanya.

Sumber: Antara

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini