TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Atase Imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur 2013-2016, Dwi Widodo dituntut pidana penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta subsidair enam bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi terbukti korupsi dalam pengurusan 'calling visa' di KBRI Kuala Lumpur yang berasal dari negara-negara rawan dan fee dari pembuatan paspor metode 'reach out' untuk para TKI di Malaysia.
Dwi Widodo terbukti melakukan perbuatan korupsi dan melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupspi jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Menyatakan terdakwa Dwi Widodo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa KPK Arif Suhermanto saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (4/10/2017).
Baca: Terdakwa Atase KBRI Kuala Lumpur: Bukan Kemauan Saya Warga Afrika Urus Calling Visa di Malaysia
Menurut saksi, Dwi Widodo terbukti menerima uang 524.350.000. Uang tersebut berasal dari Nazwir Anas (PT Anas Piliang Jaya dan PT Semangat Jaya Baru), Lenggara Latjuba dan Hendro Suryono (PT Trisula Mitra Sejehtara), Temi Lukman Winata (PT Afindo Prima Utama), dan Anwar dari PT Alif Asia Afrika.
Widodo juga menerima voucher hotel senilai Rp 10.807.102 dari Ali Husain Tajibally dari PT Rasulindo Jaya serta uang dalam mata uang Ringgit sebesar RM63.500 dari Satya Rajasa Pane.
Menurut jaksa perbuatan terdakwa tidak mendukung program Pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Dwi Widodo juga menyalahgunakan kewajiban yang diberikan dan motif kejahatannya adalah untuk memperoleh kekayaan untuk diri sendiri.
Sementara hal-hal yang meringankan terdakwa adalah berlaku sopan di persidangan, mengakui perbuatannya secara terus terang dan mengaku bersalah, dan belum pernah dihukum.